Senin, 15 September 2014

YANG DITUMBUHI RINDU

 Oleh Moh. Ghufron Cholid
 
Andrian Saputra begitulah nama tertera di sebuah dokumen dua koma tujuh dengan puisinya berjudul RINDUKU, penyair ini masih terbilang muda sebab masih duduk di bangku SMA namun puisi berjudul RINDUKU hendak menepis anggapan bahwa anak SMA juga mampu mendapat apresiasi fantastis dari dosen yang penyair yang juga sifu di group dukotu, yang menerapkan Asah Asuh Asih (3A). Sempurna (bintang 5) itulah nilainya. Namun saya tak hendak ikut-ikutan mau memberi bintang sebab tanda itu hanya admind yang berhak, yang akan saya lakukan yakni menikmati lalu menuliskan kenikmatan saya dalam bentuk apresiasi.
Sesungguhnya pemuda itu adalah orang yang mengatakan inilah saya bukan pemuda yang mengatakan inilah ayahku, barangkali inilah terjemahan bebas pepatah arab yang pernah saya pelajari ketika di pesantren. Lalu apa hubungannya dengan puisi Andrian Saputra? Hubungannya adalah semua orang berhak punya rindu begitupun pemuda yang satu ini, ada yang mengatakan secara terang-terangan, ada pula yang memilih jalan samar yakni memendam rindu hingga tiada seorang pun yang diberi tahu.

RINDUKU, kata Andrian Saputra dalam judul puisinya seakan berbisik pada saya dan saya pun mulai memasang telinga, lalu diam, lalu merenung, lalu saya baca berulang-ulang hingga bergema di kamar sukma.
RINDUKU, kata Andrian dengan nada yang lebih nyaring seakan mengajak saya berpaling dari apa yang saya pandang, berbalik arah untuk mendengarkan suara hati penyair muda ini.

RINDUKU, kali ini saya seolah mendengar suara penuh rintih, yang begitu perih, seakan rindu yang dialami penyair serupa bendungan atau DAM yang telah jebol, keperihan yang begitu memprihatinkan, namun saya pun berhenti untuk merantaukan minda, menjangkau segala kemungkinan yang ada.
RINDUKU, penyair muda ini dengan tegas memperkenalkan rupa rindu, lalu saya pun segera membuka tirai satu, tirai pembuka perkenalan rasa, segenang air mata tumpah, ucap Andrian di baris pertamanya yang beri empat kata dengan suara yang begitu lirih.

Rindu digambarkan dengan rupa yang begitu pedih perih, rindu yang diusung Andrian adalah waktu yang ditandai dengan air mata.

Paling tidak penyair muda ini telah bertarung dengan dirinya sendiri sebelum memutuskan memberitahukan pada khalayak (kita sebagai pembaca).

Lalu saya pun mulai mengumpulkan kenangan, mencoba memasuki dunia yang dicipta penyair dalam imaginya, dunia yang begitu linglung oleh sebab rindu tak bisa dibendung, oleh sebab rindu telah menjadi segenang air mata tumpah.

Andrian berupaya mengunci pintu dengan larik yang menggantung, penyair melukis rindu, rindu yang pedih perih namun tak mau melanjutkan pandangannya secara tergesa-gesa, kita seakan diajak mengencani waktu dengan segala hal yang menjadikan rindu berupa segenang air mata tumpah.

Kecerdasan penyair terletak pada pemotongan diksi yang menggantung, yang dikabarkan penyair bahwa rindu memiliki rupa dan rupa itu adalah air mata yang tumpah. Tak tergesa-gesa melanjutkan ide adalah tindakan yang tepat saya kira sebab ianya akan membawa pembaca serupa panah yang telah dilesatkan busur menuju sasaran,
sasaran bisa saja ditaklukkan dengan mudah bisa pula terlihat begitu rumit.

Padamu; pada-Mu, rindu, Andrian melanjutkan baris keduanya, baris yang berisi tiga kata yang memfungsikan
dirinya sebagai kunci pembuka yang merupakan jawaban dari rindu yang diperkenalkan sebagai air mata tumpah, rindu yang sudah tak bisa dikawal sepenuh hati, rindu yang begitu ganas menyergap kalbu dengan duka.
Padamu; pada-Mu, rinduku, saya membaca berulang baris kedua untuk lebih mengenal rupa rindu, asal rindu yang menjadi penanda duka, rindu yang hanya merindangkan dedaun air mata.

Ada yang seakan mendesak sukma saya, desakan yang semakin karib, desakan yang seakan menjadi hizib dari sebuah rupa rindu yang melahirkan air mata.

Padamu seakan menjadi sinyal kata 'mu' adalah sosok yang berada di luar penyair, bisa buah hati namun sangat mustahil mengingat penyair masih dalam dunia pendidikan walaupun bisa saja benar adanya, sebab tak semua daerah memiliki patokan yang sama kapan seseorang harus berkeluarga dan punya anak. Bisa juga kata 'mu' dinisbatkan pada orang tua namun tak menutup kemungkinan kata 'mu' dengan huruf kecil adalah kalbu jika kita merujuk pada tanda baca serta dua kata selanjutnya.

Padamu; pada-Mu, rinduku, saya kembali mengintimi baris kedua memastikan tebakan tak meleset paling tidak bagi diri saya selaku pembaca, jika merujuk pada kata 'Mu' dengan 'M' ditulis kapital yang mengindikasikan Dzat Maha Tinggi (Tuhan) maka saya memberanikan diri menyebut kata 'mu' adalah kalbu sementara kata 'Mu' mengarah pada Tuhan jika dilandaskan pada man 'arafa nafsahu faqod 'arafa rabbahu (siapa yang mengenal dirinya maka benar-benar mengenal Tuhannya) air mata yang tumpah karena kalbu terkenang dan yang mengenang itu penyair namai dengan nama rinduku.


Berikut saya posting utuh puisi Andrian,

RINDUKU


segenang air mata tumpah
padamu; pada-Mu, rinduku

Boyolali, 20 Mei 2014


Madura, 21 Mei 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar