Rabu, 24 September 2014

RUPA MADURA DALAM PUISI PENYAIR MUDA MADURA

(Esai Apresiatif Atas Puisi Raedu Basha Berjudul Hikayat Negeri Sorga)
Oleh Moh. Ghufron Cholid*

Selasa yang penuh semilir, selepas dhuhur yang penuh zikir, ditemani secangkir kopi torabika saya bertemu dengan puisi penyair muda Madura Raedu Basha, yang merantau ke Yogjakarta, yang berjudul Hikayat Negeri Sorga di sebuah jejaring sosial bernama facebook.
Judul yang begitu memikat, bisikku pada semilir angin, lalu saya lanjutkan membaca, teruntuk siapakah puisi yang lahir tahun 2007 ini dibuat, ternyata buat pulau garam nama lain dari Madura yang menjadi tanah lahir penyair, tempat penyair membuka perkenalan dengan dunia lewat tangis yang memecah kesunyian angkasa.

Saya perhatikan tahun kelahiran penyairnya, saya temukan tahun 1988, berarti usianya saat menulis puisi berjudul Hikayat Negeri Sorga berkisar 19 tahun, usia yang masih begitu muda, namun imajinasinya sudah merantau ke mana-mana.
Ada apa dengan Madura, mengapa mendapat julukan Hikayat Negeri Sorga? Kalau merunut pada kata sorga, tentu Madura begitu berarti dan sangat istimewa bagi kehidupan penyair.

Sorga selalu diidentikkan dengan tempat yang indah dan selalu menyajikan kebahagiaan. Barangkali karena Madura adalah tempat yang paling berharga bagi perjalanan hidup penyair maka tidaklah mengherankan jika Madura ibarat sorga.

Raedu membuka bait pertamanya dengan sebuah harapan yang begitu dekat kebahagiaan, seperti tahun-tahun berlalu perjuangan menemukan hasil yang memuaskan. Kehidupan laut rupanya tak bisa dipisahkan dengan suasana Madura, barangkali karena laut telah menjadi rahim kehidupan bagi umumnya masyarakan Madura, yang begitu terkenal dengan asin garam, asin yang telah menjadi sukma dalam tiap kehidupan. Asin selalu melekat di badan, tetap dikenal keasinannya meski di tanah rantau. Keasin yang begitu memukau kalbu.

Berbangga merupakan bagian dari Madura yang dikenal dengan asinnya, dikenal dengan kultur hidupnya yang penuh tatakrama. Penuh cinta dan gotong royong adalah hal yang menyenangkan. Keasinan Madura tak hanya dikenal di Madura, Jawa, Indonesia bahkan di dunia, keasinan Madura mudah dikenali begitupun orangnya, baik dari tutur bahasanya maupun cara hidup yang selalu penuh keakraban dan tak begitu menyukai sepi di tengah ke ramaian, orang Madura tak menyukai sibuk sendiri di tengah-tengah kebersamaan, keakraban telah menjadi nafas kehidupan, andap asor telah menjadi udara bagi tiap kehidupan orang Madura.

Lalu bukankah ini berbanding terbalik dengan desas desus bahwa orang Madura sangat sangar dan suka bikin onar, terkadang apa yang didengar tentang kesangaran orang Madura, akan berbanding terbalik bila sudah datang ke Madura, begitupun yang dialami oleh penulis senior Indonesia bernama Pipiet Senja saat kami berjumpa pertama kali di Madura, tepatnya di pesantren Al-Amien Prenduan.

Terkadang kabar yang didengar harus dibarengi dengan penglihatan agar mendapatkan informasi berimbang, sebab tidak menutup kemungkinan terciptanya ketidaksukaan terbentuk karena tidak adanya pengenalan secara lebih mendalam.Kenangan, kerinduan, keakraban kadang kala tercipta saat kita tak berdekatan, atau saat kita memandang dari kejauhan, begitulah Raedu mengisahkan pergolakan batinnya pada bait puisinya yang ia namai Hikayat Negeri Sorga.

Bait ketiga Raedu mulai melukiskan tentang ingatan yang begitu menyentuh batin, perjuangan nenek moyang yang tak mau berpangku tangan dalam menggenggam kebahagiaan. Betapa Raedu begitu mengenal tanah kelahirannya, begitu akrab dengan percontohan moyangnya dalam menerjemahkan hidup, yang penuh degup, bahwa kebahagiaan harus dijemput dengan perjuangan.

Bait keempat Raedu mulai menggambarkan ketabahan petani, Raedu begitu memahami kecemasan dan keprihatinan yang dialami petani di Madura bahwa kadangkala kenyataan tak seirama harapan, namun yang membuat mata batin penyair takjub adalah ketabahan petani Madura dalam menyikapi hidup. Berjuang dan terus berjuang tanpa kenal putus asa dan tabah dalam menghadapi cobaan.
Bait kelima meneguhkan keyakinan penyair tentang langkah yang harus diambil, menafasi hidup dengan perjuangan dan kembali menceritakan betapa moyang Madura selalu punya cara untuk menghidupkan semangat mengabdi, yang barangkali bermanfaat untuk keberlangsungan pertiwi jika diteladani. Barangkali inilah gejolak batin yang sudah tak bisa dibendung penyair, yakni menyajikan cara menumbuhkan nurani dan semangat mengabdi bagi generasi penerus pertiwi.
Dalam bait keenam penyair menangkap ada keganjilan, ada yang mencoba memberi desas desus tentang laut yang tak lagi asin, tentu merupakan kekisruhan yang harus cepat ditangangi, agar isu yang tak menyenangkan hati harus hilang berganti harum melati.
Baik ketujuh adalah solusi yang ditawarkan penyair untuk terhindar dari desas desus, atau kengerian yang bakal terjadi di masa depan yakni kembali menajamkan kalimah syahadah, kembali pada hukum Allah, dengan terus menjadikan segala detak nafas ibadah, agar segala yang tak diinginkan tak menyalami hati.
Kalimahsyahadah harus terus menjadi nadi dalam hidup tiap insani. Ada pun puisi yang saya maksud berikut akan saya posting secara utuh
HIKAYAT NEGERI SORGA
: Pulau Garam

angka dalam waktu
perlahan merentakan putaran kincir
di sebidang sudut tambak
petani mendongak ke langit
menadah setitik bintang jatuh ke lubuk lautan
mengharap cahaya
gemulaikan bulir berlian mengkemilau seperti dahulu
saat seribu kapal menghantarkan hasil peluh ini ke haribaan dunia

pada hamparan lautan yang menyelat pulau-pulau impian
kurindukan kembali garam berderap jingga
dari lenguh para petani. meningkahi keasinan kota pada moksa
menjadikan dua rasa saling berkecup di relung delta
garam bergelus
tawar memupus di limutan samudera

dahulu
dari rusuk baling-baling yang pasrah pada angin
aku dapat menatap tangisharu moyangku
air matanya yang tawar dapat kucicipi bila kuasini dengan garam
hingga dari airmatanya dapat kunisbatkan:
perjuangan adalah ketabahan di ladang tanggul
tambak menggulai ketegaran
tambak membuah ketenangan

kemudian tubuh pulau merajut sendiri keindahannya
laksana jelmaan sabana
namun senyuman senja di muka petani
tetap tulus dan bersahaja mengelus hati
meski dari hari ke hari
doa dan peluh berdesakan selaik kisruh

kini sebuah hikayat indah ingin kutembangkan kembali
limpahan kekayaan margalaut yang tiada kudapati selain di pulau ini
sewaktu Pangeran Katandur mengejakan kalimahsyadahah
mengelilingi daratan Madura
: samudera menggumpal kristalan putih. garam membuih
laut mendawuh di kening dermaga
ikan-ikan berlompatan di jantung segara
sungguh rekah Tuhan menggelar sebuah negeri sorga!

namun
entah siapa telah berbual dalam syukurnya
airlaut tiada mengasin lagi
tambak hanya menanam lelah
tambak hanya memanen sepi

Pangeran!
ajari kami lagi mengeja asma kalimahsyadahah
hingga lautan kembali mengkibar bendera layar
memasang rusuk kincir kembali membalingkan gemulai angin
mengarahi sampan-sampan kembali berlayar
menghantarkan ritus peluh ini ke haribaan dunia, seperti dahulu…
sampai harum kembali garamku
searoma derap tasbih para petani

2007

Raedu Basha tak henti berharap, dalam puisi banyak hal yang bisa dilakukan Raedu yakni dengan mengenalkan segala ragam kehidupan Madura yang penuh pendidikan cinta, ketabahan orang Madura yang serupa karang, tak goyang diterjang gelombang.

Raedu seakan hendak mengabarkan bahwa pada hakikatnya orang Madura (moyangnya) adalah pejuang tangguh yang tak mudah berputus asa. Bahwa Madura yang terkenal sangar memang harus dibuntikan dengan cara mengunjungi Madura, agar dapat dirasakan suasana Madura yang penuh cinta.

Kembali pada kalimahsyadah seakan menjadi solusi untuk keluar dari segala kecemacasan, seakan Raedu mengukuhkan kembali bahwa Madura memang layak menyandang serambi madinah atas kekentalan hidupnya dengan agama.

Madura, 6 Mei 2014
*Pembina Sanggar Sastra Al-Amien (SSA) dan Pendiri Dengan Puisi Kutebar Cinta, tinggal di Madura.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar