Rabu, 24 September 2014

Pesantren Sebagai Basis Sastra


Oleh Moh. Ghufron Cholid
 
Pesantren sebagai lembaga pendidikan telah banyak memberikan sumbangsih pada kemerdekaan untuk sebuah bangsa bernama Indonesia.Pesantren yang dianak tirikan keberadaannya tidak membuat tenggelam dalam lembah duka. Pesantren terus saja memberikan pengabdian terbaik untuk bangsa.
Para santri sedang apresiasi sastra

Pesantren yang mendapat stigma, kolot, kampungan hanya fokus pada segala permasalahan agama, agaknya perlu diluruskan. Pesantren dengan pendidikan kerohanian semakin memperhalus budi dengan tradisi sastranya. Di pesantren degup sastra terasa sangat nyata. 
Tradisi bersastra bahkan telah menjadi kegiatan yang mengasyikkan baik digemakan dalam bentuk nadham maupun dalam bentuk diba'. Rasanya para pecinta sastra harus bersyukur dan berterima kasih karena bangsa Indonesia punya lembaga pendidikan bernama pesantren, yang sangat kental dengan tradisi sastra. 
Menjadi Civitas pesantren atau sebagai seorang pejuang di ranah pendidikan pesantren, tak harus merasa minder bila disandingkan dengan pendidik yang sudah menempuh pendidikan sampai S3 baik di dalam negeri maupun luar negeri, seharusnya mengedepankan rasa syukur. Kendati jenjang pendidikan ada yang sampai Ibtidaiyah, Tsanawiyah maupun Aliyah, sejatinya kita sudah dibekali dengan ilmu agama dan ilmu sastra.
Tampa harus menempuh jenjang pendidikan tinggi kita sudah dikenalkan kunci pembuka segala ilmu yakni nahwu dan shorrof. Kedua inti ilmu pengetahuan adalah modal dasar untuk membuka ragam ilmu yang belum terbuka. Tak hanya itu kitab blaghah juga menjadi kunci untuk memahami ragam sastra arab.
Kekerabatan pesantren dengan kitab-kitab klasik bisa jadi sebagai titik awal nilai lebih orang-orang yang menempuh pendidikan lewat jalur pesantren dari pada pendidikan umum. 
Menggeluti pemikiran para ulama terdahulu membuat kita sebagai orang pesantren memiliki nilai plus, hanya dengan menempuh pendidikan di tanah kelahiran, di negeri sendiri bisa bertemu dengan ragam pemikiran ulama terdahulu, ikhya' ulumuddin dengan imam al-ghazali, ibu shina dengan kitab pengobatannya, syiir abu nawas, syiir imam syafie dan lain sebagainya. 
Paling tidak orang-orang pesantren harus bersyukur memiliki Gus Dur yang menjadi penanda pesantren lebih dikenal dunia luas dan membubuhkan nama pesantren dalam biodata menjadi suatu hal yang membanggakan, dengan kata lain lulusan pesantren bisa disejajarkan dengan orang-orang yang dengan bangganya memperkenalkan diri di biodata sebagai lulusan kampus ternama.

Menepikan Stigma Buruk Pesantren Sebagai Sarang Teroris

Tak bisa dipungkiri pesantren telah digiring pada suatu pemahaman sebagai basis lahirnya kaum radikal yang dalam bahasa populer sarang teroris. Penggiringan publik pada stigma buruk ini sangat menciderai hati para pendidik atau orang-orang yang pernah menempuh jalur pendidikan pesantren. 
Hal ini harus disikapi dengan lebih dewasa dan bijak dengan adanya stigma tersebut paling tidak keberadaan pesantren mulai diperhitungkan. Adanya pesantren mulai mendapat perhatian, hal semacam ini harus dimanfaatkan dengan baik. 
Pihak asing atau orang-orang luar pesantren mulai ada keinginan untuk lebih mendalam tentang apa itu pesantren, jika bisa dimanfaatkan dengan maksimal akan menjadi penanda baik untuk menghapus stigma buruk tersebut. Agaknya tak kenal maka tak sayang bisa menjadi hipotesa akan lahirnya era baru, di mana kegiatan-kegiatan pesantren mulai dilirik. 
Saya pun bisa bernostalgia dengan ingatan demi ingatan hidup di pesantren utamanya pesantren Al-Amien Prenduan, di mana membuat persiapan mengajar sudah menjadi tradisi baik dari generasi ke generasi yang kemudian mulai diadopsi oleh bangsa Indonesia dalam dunia pendidikan yang dimiliki. Silabus, RPP sudah menjadi akrab di kalangan dunia pendidikan atau kalangan para pendidik.
Tradisi bersastra yang berjalan secara alamiah membuat para santri maupun guru di pesantren Al-Amien Prenduan tampil menjadi juara baik ditingkat regional maupun nasional, dan saya pribadi merasakan buah pendidikan bersastra di pesantren, sampai akhirnya pada bulan Oktober 2013 berkesempatan mengikuti Kongres Penyair Sedunia ke-33, sahabat saya, Ach. Nurcholis Majid pernah menjuarai lomba esai tingkat guru SMA/MA seIndonesia, itu pun didapat saat Nurcholis mengabdikan diri sebagai guru di pesantren. 
Memposisikan pesantren sebagai basis pendidikan dan basis sastra di tengah gempuran anggapan pesantren sebagai sarang teroris bisa menjadi langkah yang sangat tepat. Memulihkan kepercayaan publik dengan mengenalkan tradisi yang sangat khas merupakan langkah jitu untuk menepis segala anggapan buruk. 
Shalat jama'ah, dzikir bersama, mengaji al-qur'an bersama, bershalawat dan tahlil bersama merupakan implimentasi dari sastra yang sesungguhnya. 
Pesantren adalah lembaga pendidikan yang tak hanya fokus pada ilmu-ilmu keagamaan, pesantren bukanlah sarang teroris melainkan basis pendidikan sastra. Pesantren terjemahan dari sastra itu sendiri, Allah itu indah dan mencintai keindahan. 
  Madura, 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar