Rabu, 17 September 2014

Membaca Panggung Puisi




Oleh Giyanto Subagio*

Panggung Puisi tidak bisa dipisahkan dari kode budaya lokal, yaitu tradisi sastra lisan. Masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa dengan akar tradisi kebudayaan yang sudah sangat akrab seperti  syair, pantun, macapat,  kaba dan lain-lain. Di Jakarta orang mengenal Palang Pintu dalam tradisi pernikahan Betawi, yang mana di dalamnya ada berbalas pantun dan silat. Di Minangkabau , Sumatera Barat, orang mengenal  teater  tradisi yang bersifat kerakyatan, yang bernama randai. Randai  bertolak dari sastra lisan yang disebut: Kaba (cerita), Bakaba (bercerita).

Panggung Puisi bukan sekedar ruang atau tempat seorang penyair mensosialisasikan karya puisnya sekaligus untuk membentuk eksistensi diri  yang berujung pada pengakuan sebuah nama, dan juga bukan hanya sebagai jembatan silahturahmi antara penyair  dengan masyarakat sastra. Pelisanan puisi di atas panggung oleh penyairnya dalam tradisi sastra  Indonesia modern  nampak sepertinya kurang tergarap. Sejak Chairil Anwar sampai sekarang ini, baca puisi di atas panggung belum menjadi sebuah gerakan sastra. Banyak orang lebih mengenal sastra Koran, dan sastra majalah, serta sastra buku. Panggung Puisi hanya diisi oleh beberapa orang penyair, antara lain: Alm. Rendra, Alm. Hamid Jabar, Sutardji Calzoem Bachri, Emha Ainun Najib, dan juga generasi terkini, yaitu ada Jose Rizal Manua, Irmansyah, Tan Lio Ie, Amin Kamil, dan Asrizal Nur.

Sepulang Alm. Rendra dari Amerika, ia menawarkan Poetry Reading (baca puisi), yang berbeda dari deklamasi. Alm. Hamid Jabar membaca puisi bagai seorang yang sedang ratib, dan dzikir, yang diiringi rebana. Sutardji membaca puisi bagai orang sedang trance (mabuk) dengan bir dan kapak. Emha Ainun Najib membawa seperangkat gamelan di atas panggung. Jose Rizal Manua dengan keaktoran dan daya humor yang segar. Irmansyah dengan randai dan saluang(Suling). Tan lio Ie dengan vocal dan petikan gitar. Amin Kamil dengan gesture dan vocal keaktoran serta rambut gimbalnya.  Asrizal Nur membaca puisi didukung oleh alat multi media yang canggih.

Puisi Indonesia modern berwajah Barat, sehingga sangat sulit jika kita mencari estetikanya ke puisi tradisional seperti  pantun, macapat, kaba, dan lain-lain. Gerakan Panggung Puisi seharusnya menjadi  sebuah momentum  untuk mengembalikan tradisi  estetika puisi Indonesia modern  ke akar puisi tradisional, yaitu pantun, macapat, kaba, dan lain-lain.




Kelahiran sejarah sastra Indonesia tidak mungkin lahir tanpa dukungan panggung sastra komunitas. Terbitnya karya-karya sastra, baik yang terbit di koran-koran, majalah-majalah dan buku-buku bunga rampai karya sastra, sangat jelas hal itu, dipengaruhi oleh adanya paguyuban, perkumpulan atau bisa disebut komunitas sastra. Komunitas sastra, yaitu tempat berkumpulnya para sastrawan yang memiliki satu ideologi, satu landasan estetika, dan juga satu kode budaya.

Panggung puisi Indonesia seharusnya menghasil kan sebuah performance art yang menarik dan utuh. Teks di atas panggung bisa ditafsirkan sesuai dengan tanda dan penanda (Semiotika). Kata-kata dalam puisi merupakan wujud verbal dalam sebuah puisi, maka mewujudkan begitu saja teks belumlah mencukupi. Pemanggungan harus menampilkan  aspek-aspek yang inplisit, tidak terucapkan atau tidak tertulis ( Iman Budhi Santosa, Kalakanji, 2003: 149).

Pada jaman pra Islam puisi sudah difestivalkan. Para penyair Arab pra Islam sudah biasa membacakan puisi di atas panggung. Lalu dalam festival tersebut penyair terbaik diberikan penghargaan dan sorotan publik.

Hal tersebut di atas menunjukan bahwa panggung puisi sudah mentradisi  cukup lama di dunia, akan tetapi karena pengaruh budaya tulis-menulis (literer) sehingga budaya lisan (Oral) di atas panggung, dan khususnya  puisi yang dipanggungkan seperti termarginalkan.

Sesungguhnya penyair adalah panggung itu sendiri, dan puisi adalah isinya. Dengan berkolaborasi dari berbagai cabang ilmu, baik seni maupun non seni, panggung puisi akan menghasilkan satu seni pertunjukan yang baru.

·         Giyanto Subagio, pekerja seni, dan aktifis sosial, tinggal di Jakarta.























                                                                                           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar