Senin, 15 September 2014

MENGAKRABI DUNIA PEREMPUAN ANTARA IMPIAN DAN KEDUDUKANNYA DALAM ISLAM

Oleh Moh. Ghufron Cholid
(Esai Apresiatif Atas Puisi Berjudul Lelaki Di Dalam Tidurku Karya Bintang Kartika)

Malam Rabu saya berhadapan dengan puisi Bintang Kartika berjudul Lelaki Di Dalam Tidurku yang disajikan dengan pola tuang dua koma tujuh yang diperkenalkan oleh Penyair Imron Tohari dan semakin poluler diminati di sebuah group di FB dengan peminat lebihg dari 6000 anggota, dengan admind group Dimas Arika Mihardja, Dosen yang juga penyair menetap di Jambi, Kang Ramdan, Mas Cunong dan
admind lain yang tidak bisa saya sebut satu persatu.

Peminat yang begitu menggebu dalam bekarya dengan admind yang bisa dihitung jari maka posting karya bagi anggota dibatas dalam sehari hanya memosting 3 puisi, langkah ini diambil untuk lebih menimalisir karya-karya yang tak sempat dibaca atau diapresiasi secara keseluruhan, uniknya ada penyematan bintang bagi puisi yang dianggap layak oleh admind dan dianjurkan diletakkan di dokumen karena berpotensi untuk diterbitkan menjadi buku.

Namun esai ini tidak dibuat untuk membahas penyematan bintang yang biasa dilakukan para admind melainkan lebih fokus membahas puisi Bintang Kartika yang berjudul LELAKI DI DALAM TIDURKU yang terdiri dari dua baris tujuh kata, dengan baris pertama berisi empat kata dan baris kedua berisi tiga kata.
Yang menarik dari puisi Bintang Kartika adalah ide yang diusung, yang barangkali bisa dianggap tabu namun tak menutup kemungkinan terjadi di masyarakat. Kendati demikian baik lelaki maupun perempuan berhak berbagi criteria pasangan yang cocok untuk menjadi pendamping hidup.
Perempuan dan Dunianya

Perempuan identik dengan pemalu, oleh karenanya dalam Islam perempuan begitu mendapat tempat yang terhormat. Dalam hal yang paling layak untuk dicintai dan dihormati oleh buah hati, perempuan mendapatkan porsi yang lebih banyak dibanding lelaki yakni 3:1, hal ini sangat wajar karena perempuan paling diuji dalam hal bercinta.

Tak bisa dibayangkan rasa sakit dan jenuh yang dialami perempuan yakni mengandung selama 9 purnama, belum lagi perjuangan yang harus dihadapi untuk mengantarkan buah hatinya menatap dunia untuk pertama kalinya, perempuan harus menjalani perjuangan yang mempertaruhkan hidup dan mati.
Dalam hal bercinta perempuan mendapatkan waktu yang lebih banyak berkumpul dengan buah hati, oleh sebab itu guru utama bagi generasi baru adalah ibu, ibu adalah cerminan buah hatinya, pada ibu seorang anak berkaca tentang hidup, sementara ayah lebih banyak di luar rumah mencari nafkah untuk menggenggam hidup yang lebih layak.

Begitu identiknya perempuan dengan rasa malu, agama memberi perhatian lebih pada perempuan khususnya dalam menjalin hubungan untuk menjadi pendamping seumur hidup, jika perawan harus mendapat persetujuan orang tua dan perawan yang bersangkutan dan jika janda bisa langsung atas persetujuan janda yang bersangkutan.

Rasa malu yang begitu besar sangat melekat dalam diri bernama perempuan sampai ada hadits yang menyatakan diamnya perempuan adalah jawaban atas pertanyaan yang diberikan kepadanya. Hal ini yang membuat ide puisi yang disajikan Bintang Kartika terasa sangat menyentak, Lelaki Di Dalam Tidurku, kembali saya terdiam dan mengangkukkan kepala pertanda saya salut akan keberanian Bintang
Kartika dalam berbagi risalah hatinya, risalah yang begitu akrab dengan rahasia hidupnya. Apakah yang dilakukan Bintang merupakan hal yang tabu, tentu jika merujuk pada rasa malu yang begitu karib dengan dunia perempuan. Apakah merupkan suatu hal yang sangat dilarang? Tentu tidak, sebab mengajukan atau mengabarkan kriteria pasangan ideal adalah hak tiap manusia baik lelaki maupun perempuan.

Lelaki di dalam tidurku, kembali judul puisi ini menyentak batin saya, lalu saya diam, menghentikan laju membaca, mengatur laju debar yang saya miliki, saya geleng-geleng kepala seakan tak percaya pada keberanian Bintang, namun saya harus menguatkan mental untuk melanjutkan ide yang akan disampaikan.

/merapa bismillah, mengacung tirani/ saya pun kembali mengangguk lalu mengelus tempat kumis yang sudah dipotong, ternyata perempuan juga memiliki keberanian dalam mengajukan pasangan hidup yang layak mendampinginya.

Saya tertegun dan kembali mengulang bacaan saya, merapal bisllah, mengacung tirani, lalu muncullah pertanyaan mengapa harus ada bismillah? Saya mencoba meraba jawaban yang paling memungkinkan menghilangkan rasa penasaran saya, bismillah adalah awal dari segala kata, segala gerak jika tanpa bismillah maka dianggaplah sia-sia.

Jika terlupa merapal bismillah pada tiap awal pekerjaan maka dianjurkan bismillahi al-awwalu wal akhiru ucapan ini sebagai pengganti pembacaan bismillah yang terlupa, sebab bismillah harus menjadi nafas dalam segala detak kehidupan.

Dalam shalat jika tak dibaca bismillah maka shalatnya bisa batal atau sia-sia, jika tidak pernah membaca bismillah dalam tiap harinya bisa dipastikan tidak shalat. Bismillah semacam menjadi ruh bagi tubuh, syarat utama yang diajukan Bintang adalah orang yang bertaqwa, mengerti tentang seluk beluk agama, bisa membimbing ke arah yang lebih baik.

Pada hakikatnya perempuan bagi lelaki ibarat makmum maka tidaklah salah jika perempuan membutuhkan imam yang terbaik dalam hidupnya, yang segala ucap dan geraknya selalu diikuti oleh perempuan yang jika salah siap ditegur dan segera berbenah diri untuk memperbaiki agar kesalahan tak terulang.

Apakah cukup lelaki yang mengerti seluk beluk agama bagi seorang perempuan untuk dijadikan imam dalam hidupnya, bagi Bintang sangatlah tidak cukup, karena bertaqwa saja tanpa mengacung tirani seraca tidak lengkap atau tidak seimbang, bisa saja ia hanya baik dalam menjalin hubungan dengan Tuhannya namun yang mengacung tirani sudah bisa dipastikan memiliki hubungan yang baik kepada sesama manusia, maka mengacung tirani seakan menjadi penyeimbang bagi perapal bismilah.

Menjalin hubungan yang baik dengan Allah dan hubungan yang baik dengan sesame adalah bentuk keseimbangan dari hidup, keseimbangan dari sebagai hamba dan sebagai pemimpin dibumi, yang bisa mengacung tirani hanyalah pemimpin yang tegas yang tak kenal kompromi dengan segala bentuk penyimpangan, yang hanya melahirkan penderitaan bagi kaum yang lemah.

Saya kembali membayangkan dunia perempuan sebelum Islam, betapa perempuan sangatlah tidak berharga dan tidak bermartabat maka melahirkan anak perempuan semacam menjadi aib keluarga sehingga tidak mengherankan jika ada yang dengan sengaja mengubur hidup-hidup anak perempuan ataupun membunuh langsung.

Betapa bahagianya perempuan berada dalam dunia dan Islam telah masuk di dalamnya sebagai rahmatan lil ‘alamien, kehadiran Islam menjadikan perempuan bukan barangrongsokan yang harus dipisahkan dengan hidup yang lebih layak.

Keberadaan Islam dalam dunia perempuan semakin membuat perempuan seperti berlian, yang tidak mudah didapatkan ada tatacara khusus untuk memegang perempuan tanpa harus mendapatkan cibiran dan fitnah dari sesama.
Betapa berharganya perempuan sehingga dua pemuda yang mencintai perempuan yang sama dan sudah dilamar oleh pemuda pertama tak boleh direbut atau diambil alih tanpa persetujuan pihak pertama.

Betapa senangnya menjadi perempuan saat Islam sudah ada di bumi yang penuh cinta ini, sehingga keberadaan perempuan begitu diagungkan, sorga bagi seorang anak ada di bawah telapak kaki ibu namun sorga perempuan berada dalam ridha lelaki (suami), hal ini menandakan betapa seimbangnya ajaran agama Islam, betapa Islam sangat menghargai tiap perjuangan.

Surga di bawah telapak kaki ibu karena memang perjuangan perempuan dalam melahirkan buah hati berada di antara hidup dan mati. Surga perempuan ada pada ridha suami karena suami yang dibebankan mencari nafkah untuk kebahagiaan keluarga, karena suamilah yang berkewajiban memberi mahar, sehingga perempuan yang taat pada perintah suaminya selama tak bertentangan dengan hukum Allah maka hadiah bagi keluarga perempuan yang tidak sempat dijenguk lantaran tak mendapat izin suami adalah surga, sebagai hadiah atas ketaatan istri pada suaminya, ini berlaku bagi ayah dan ibu anak perempuan yang sudah bersuami namun tidak dapat dihadiri anak perempuannya lantaran ketaatannya atas perintah suaminya untuk tidak meninggalkan rumah tanpa seisin suami.

Tak hanya itu bahkan bagi perempuan sangat diatur dalam menjalin hubungan kembali dengan seorang lelaki calon suaminya, bagi perempuan yang dicerai mati atau ditalak ada masa iddah untuk bersuami lagi, hal ini untuk menghindari kemungkinan tentang janin yang berada dalam rahim perempuan anak siapakah dia, jika hamil harus menunggu sampai lahir baru boleh bersuami lagi, jika cerai mati atau talak maka boleh menikah lagi setelah selesai masa iddahnya.

Bintang Kartika tak hanya menumpukan syarat pada lelaki idaman sebatas merapal bismillah dan mengacung tirani, sebagai hasil dari dua keseimbangan (merapal bismillah, mengacung tirani) ia harus memiliki cinta yang revolusioner seperti yang telah ditulis dalam bait keduanya, cintamu merinai revolusioner, dengan artian cinta yang dimiliki oleh lelaki haruslah membawa perubahan baru, yakni hidup yang lebih layak.

Berikut saya posting utuh puisi Bintang Kartika, penyair perempuan yang begitu tegas menyatakan kriteria idamannya atau lelaki idaman bagi tiap perempuan (jika puisi ini sengaja dicipta mewakili rasa yang dimiliki kaumnya).

LELAKI DI DALAM TIDURKU

merapal bismillah, mengacung tirani
cintamu merinai revolusioner

MayDay, 2014

Barangkali inilah puisi dari sekian puisi yang mencoba mengangkat tentang lelaki idaman bagi perempuan yang ditulis secara tegas oleh penyair bernama Bintang Kartika yang mewakili suara kaumnya, pada hakikatnya manusia baik laki-laki maupun perempuan memiliki kriteria tentang pasangan yang ideal bagi keberlangsungan hidup di masa mendatang atau sepanjang hidupnya.

Madura, 6 Mei 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar