Senin, 15 September 2014

SKETSA DUNIA PENYAIR

Oleh Moh. Ghufron Cholid
       Muhammad Lefand dengan puisinya berjudul puisi memuisi tak memuasi hadir ke tengah-tengah pembaca, sebenarnya yang membuat saya tertarik adalah isue yang diusung, sementara isinya terkesan biasa-biasa saja. Tak ada letupan bom, barangkali ini hanya pandangan saya selaku pembaca.
       Barangkali ini hanyalah keprihatin penyair atas prahara yang terjadi, puisi memuisi tak memuasi, ujar Lefand dalam judul puisinya.
       Barangkali yang disebut puisi memuisi adalah ketenaran penyairnya yang tergabung dalam 23 penyair kondang sementara tak memuasi barangkali dinisbatkan pada prahara yang menimpa 23 penyair kondang mengundang keprihatinan, barangkali penyair hanya menyayangkan pengabdian yang telah ditata mengharumkan khazanah sastra dalam hitungan puluhan tahun mulai memudar lantaran ditunggani oleh kepentingan ide, kalau tak mau dikatakan menyokong sebuah genre yang oleh Denny JA disebut puisi-essay.
       Berikut saya posting utuh puisi Muhammad Lefand PUISI MEMUISI TAK MEMUASI: 23 Penyair Kondang
diksi-diksi melukis mimpikonspirasi puisi-essay, inspirasi dibeli
Jember, 170314
diksi-diksi melukis mimpi, Lefand memulai membangkitkan kita tentang buku yang ditulis oleh 23 penyair kondang, dikatakan kondang lantaran kiprah penyair yang ada dalam buku tersebut sudah teruji waktu dan dikenal kalangan pecinta sastra.
Diksi-diksi melukis mimpi, kembali saya baca berulang-ulang larik ini sekedar menghadirkan ingatan yang barangkali tercerai berai.
       Melukis mimpi, saya mengambil jeda dan mulai merenung seraya membayangkan siapakah gerangan yang bermimpi? Saya belum dapat jawaban dari rasa penasaran saya dan saya putuskan untuk melanjutkan larik kedua, barangkali saya dapat jawaban tentang rasa penasaran yang mulai menyergap batin.
/konspirasi puisi-essay, inspirasi dibeli// rupanya rasa penasaran yang tadinya samar-samar mulai berkencan sinar dan saya mulai mengerti, penyair hendak mengabarkan bahwa telah terjadi konspirasi dalam dunia sastra. Konspirasi yang paling tak diinginkan keberadaannya namun inilah hidup segala kemungkinan bisa terjadi tanpa disadari.
Ada yang merasa dirugikan atas lahirnya buku ini, kesadaran ini hadir setelah konspirasi mulai terkuak secara perlahan, ada yang memundurkan diri dan berkeinginan karyanya dicabut dengan konpensasi akan mengembalikan uang yang telah diterima, ada yang beranggapan biasa-biasa saja, meski kecewa atas terbitnya buku namun tak mau mengembalikan uang yang telah diterima dengan dalih profesionalisme, lalu siapa yang paling bertanggung jawab atas lahirnya buku ini, pihak penyelenggara atau para penyair yang tergabung di dalamnya? Saya tak hendak menyalahkan siapa-siapa sebab buku ini sudah terbit, bagi saya buku ini telah menjadi sejarah. Bukankah sejarah bisa dibuat siapa saja bergantung cara kita menyikapi.
      Bukankah sebuah genre adalah buatan manusia yang bisa saja diterima atau ditolak, bukankah Dennya JA juga manusia juga berhak membuat sejarah namun yang jelas genre yang diusung oleh Denny JA adalah gaya penulisan yang telah lama ada hanya saja baru diberi nama dan Denny JA menyebutnya puisi essay. Bukankah puisi bercatatan kaki tak hanya ditulis oleh Dennya JA, bukankah hal yang biasa memberi catatan kaki untuk sekedar memberi gambaran. Yang dilakukan Denny JA hanya menamainya saja, kita sebagai pecinta sastra boleh menyepakati atau menolaknya. Bukankah genre puisi sangat banya kita boleh saja membuat genre baru, memperkenalkan pada khalayak, terlepas diterima atau ditolak hanyalah bentuk apresiasi saja.
Kalau dalam puisi ada namanya pola tuang dua koma tujuh yang diperkenalkan oleh Imron Tohari, puisi mbeling oleh Remy Sylado cs, Tanka, Haiku, atau apapun jenisnya itu hanyalah penamaan yang boleh kita terima atau kita tolak.
       Lalu apakah yang dilakukan Denny JA adalah hal yang memalukan atau menciderai dunia sastra? Semua terpulang pada diri kita masing-masing, Denny JA hanya menamai sebuah genre yang sebenarnya sudah ditulis oleh penyair terdahu, hanya saja penyairnya tidak memberikan nama genre yang ditulis, barangkali hanya ingin memberikan kesempatan pada kritikus sastra untuk menamai, walau pada hakikatnya kita tak pernah benar-benar bisa membuktikan secara pasti manakah yang lebih dahulu antara karya sastra atau kritik sastra sebab pertanyaan seperti ini sama rumitnya dengan manakah yang lebih dahulu antara telur atau ayam.
Yang jelas keberadaan puisi ini hendak mempertanyakan tiap diri apakah dibenarkan demi sebuah ketenaran mengadakan konspirasi untuk mengukuhkan sebuah keyakinan yang telah diperkenalkan.
Paling tidak penyair Lefand hendak berbagi kegelisahan kepada kita selaku pembaca lewat puisi yang ia namai puisi memuisi tak memuasi.
       Kegelisahan bisa menimpa siapa saja namun karena Lefand begitu mengakrabi puisi maka dijadikanlah puisi untuk memediasi hati. Di samping itu kehadiran puisi ini tak hendak memprovokasi melainkan mengajak menjernihkan hati, untuk menjadi terkenal tak harus membeli inspirasi

Madura, 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar