Sabtu, 18 April 2015

PERTALIAN LATAR HIDUP DAN KARYA YANG BERDEGUP

Oleh Moh. Ghufron Cholid

Berbicara latar hidup dan karya yang berdegup adalah hal yang sedang saya lakukan pada karya juftazani
seorang penyair yang juga penganut sebuah thariqah dalam puisi berjudul kepasrahan. Moh. Ghufron Cholid
KEPASRAHAN
Juftazani
larut jiwaku
bagai kabut bersimpuh diterpa cahaya
engkau angkuh !
aku ringkih
kuselimuti diriku
dengan kelembutan doa
walau hampa tanpa makna
terimalah aku di ladang-ladang cahaya
larut sukmaku
bencana membenamkan ruhku ke rawa-rawa
diperbatasan sunyi kurenungi hari
yang tak mampu kugenggam lagi
dan langitmu terkuak mencemaskanku
lalu kau renggut diriku
bagai tikus di terkam kucing
dan pintu langit kau tutup kembali
dalam sunyi
kau tak menyisakan dialog
kau hanya seorang gerilya yang mendeteksi segala
gerak gerikku
kekasihku
aku hanya bisa pasrah kepadamu
apakah engkau akan memerangkapku
atau memelukku kembali seperti dulu
*Penyair, eseis, dan cerpenis Tinggal di Jakarta.
SEKILAS PROFIL PENYAIR
Juftazani, lahir di Pekanbaru, 1960/11/11. Menulis puisi sejak duduk di bangku PGA Negeri Pekanbaru 1974 -1980. Kemudian melanjutkan tradisi penulisannya selama kuliah di IAIN Fak. Adab (SEKARANG UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta dari tahun 1981-1988.
Banyak Tulisan-tulisan yang dipublikasikan berbagai media nasional dan lokal seperti PR Bandung, Bandung Post, Masa Kini Yogyakarta, Berita Nasional, Haluan, Riau Pos, Republika, Bera Buana, Media Indonesia dll,
Juftazani berasal dari kedua orang tua Penganut Tharekat Naqsyabandiah. Ketika ia tinggal di Yogyakarta, ia tertarik memasuki
Tarekat Idrisiyah di Tasikalaya dan diteruskan di Jakarta dari tahun 1988 sampai sekarang.
Pernah menjadi mentor (pembimbing) Kelompok Diskusi Sastra Lingkaran Sastra Nucleous di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dari tahun 2003 sampai 2005. Pernah menjadi peneliti (Pusat Studi Islam dan Negara (PSIK) Univ.Paramadina Jakarta.
Kemudian peneliti di Lembaga Studi Islam dan Kebudayaan (LSIK) Jakarta. Bekerja sebagai editor sebuah penerbit. Juga Pernah Menjadi editor koran "online" RIMANEWS. Sekarang bekerja sebagai editor dan penyair. Kini ia aktif bekerja di Konfrontasi Media Online sebagai reporter.
PEMBAHASAN
Setiap sesuatu dilahirkan dalam keadaan suci, sebuah renungan berulang yang saya lalukan untuk mengakrabi puisi berjudul kepasrahan. Saya diserbu ragam pertanyaan bisakah segala sesuatu ada dengan sendirinya tanpa ada yang menciptkan? Lalu pertanyaan tersebut mulai menemukan titik terang ketika saya
dihadapkan dengan firman Allah kun fayakun (jadi maka jadilah) dengan demikian segala sesuatu ada karena
ada yang menciptakan. Lalu pertanyaan saya pun berkembang apakah sifat seseorang terjadi dengan sendirinya tanpa ada yang membentuk atau tanpa melewatisebuah proses? Pertanyaan itu pun
menemukan jawaban ketika saya berhapan dengan proses penciptaan langit dan bumi beserta isinya dalam enam masa. Saya pun perlahan menyimpulkan bahwa sebuah sikap yang muncul atau dimunculkan oleh seseorang bukan muncul tiba-tiba melainkan ada proses yang membentuknya. Saya kemudian mengambil langkah untuk memasuki bait pertama dari juftazani untuk menemukan titik terang,
larut jiwaku
bagai kabut bersimpuh diterpa cahaya
engkau angkuh !
aku ringkih
kuselimuti diriku
dengan kelembutan doa
walau hampa tanpa makna
terimalah aku di ladang-ladang cahaya
Mengakrabi bait pertama, saya menemukan pelajaran hidup bahwa sejatinya hidup tak pernah lepas dari
ragam kemelut. Rupanya Juftazani begitu ingin berbagi risalah hidup, kegoncangan yang menerpa ketenangan telah pun ia hadirkan berikut cara menyiasati.
Bait pertama mengingatkaxn saya pada firman Allah, sesunggunya manusia diciptakan dalam keluh kesah. Di sisi lain saya dihadapkan pada firman Allah bahwa harus senantiasa berloma dalam kebaikan atau fastabiqul khoirot atau firman yang lain ayyukum ahsanu amala (untuk mengetahui yang paling baik amalnya).
Bait pertama berisi pengakuan tentang ketakberdayaan
manusia, bagaimana cara menyiasati ketak berdayaan
yakni dengan usaha dan doa disertai kepasrahan
sepenuh yakin.
Pada bait kedua Justazani memotret sifat dasar manusia yang cendrung berkeluh kesah dan penuh umpatan karena tak bisa mengawal hati,
larut sukmaku
bencana membenamkan ruhku ke rawa-rawa
diperbatasan sunyi kurenungi hari
yang tak mampu kugenggam lagi
dan langitmu terkuak mencemaskanku
lalu kau renggut diriku
bagai tikus di terkam kucing
dan pintu langit kau tutup kembali
Pemotretan tentang iman manusia dihadirkan di bait kedua yakni pada hakekatnya iman bertambah dan berkurang. Ketika iman sudah berkurang dan nyaris tak ada maka yang terjadi adalah menggugat takdir, kesadaran yang utuh dalam mengingat Tuhan mulai pudar, yang tersisa hanyalah menyalahkan keadaan.
Menyalahkan Tuhan karena dipandang nengabaikan doa-doa yang telah dihaturkan. Manusia pada titik kesadaran terbawah cendrung melupakan segala karunia yang telah diterima. Segala kebahagiaan yang pernah didapat dan disyukuri tak pernah diingat lagi. Dengan demikian pada hakekatnya dalam menjalani hidup tak boleh terlalu jumawa ketika saat berada dalam kesuksesan karena adakalnya manusia memiliki permasalahan hidup yang akan membuatnya dikuasai kalut.
Melupakan segala nikmat. Mengganti syukur dengan kufur yang disertai umpatan.
Pada batas kesadaran paling tidak bait ketiga menjadi titik terang bagi seseorang yang tahu diri dan sadar fungsi. Pada bait ini saya seakan menemukan jiwa Justazani yang sudah menempuh jalab hidup lewat thariqah yang ditekuni. Berikut saya hadirkan pandangan penyair lewat bait ketiganya,
dalam sunyi
kau tak menyisakan dialog
kau hanya seorang gerilya yang mendeteksi segala
gerak gerikku
kekasihku
aku hanya bisa pasrah kepadamu
apakah engkau akan memerangkapku
atau memelukku kembali seperti dulu
Thariqah adalah jalan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, biasanya ditempuh dengan banyak berzikir mengingat Allah dan melakukan ragam kebajikan lainnya semata-mata mengharap ridhaNya.
Pada puncak persoalan hidup seperti yang dihadirkan penyair dalam bait ketiga, betapa nwnyadari keadaan dan menginsafi diri sangat penting. Jika dipelajari dari latar hidup penyair yang mendalami thariqah maka ditemukan pertalian antara laku dan karya yang dihadirkan. Puisi yang merupakan lukisan penyair secara pandangan juga bisa dipengaruhi oleh latar hidupnya.
Hal ini bisa ditemukan dalam bait ketiga yang merupakan ketegasan penyair seutuh kepasrahan.
Madura, 23 Maret 2015

CARA PENYAIR MENGUNGKAP CINTA


Oleh Moh. Ghufron Cholid
BEBUIH CINTA adalah puisi yang diniatkan untuk mengangkat persoalan yang dekat dengan kehidupan, sesuatu yang pernah menggoda rasa. judul ini terdiri atas dua kata yakni bebuih dan cinta. bebuih adalah jamak dari kata buih, atau pengulangan kata tak sempurna, yang seharusnya ditulis buih-buih. atau bisa dimaknai kumpulan buih. cinta adalah sebuah rasa yang tak memiliki rupa namun kehadirannya bisa dirasakan.
Berikut saya postingkan puisi karya irwan abu bakar secara utuh,
BEBUIH CINTA
Secawan teh yang kau hidangkan
berbuih-buih menggoda rasa
lantas bebuih bertukar corak
membentuk sekuntum imejan cinta.
Secawan teh yang kauhidangkan
dituang dari hati yang suci.
-IRWAN ABU BAKAR
Kuala Lumpur, 14.04.2015
(Foto c. Irwan Abu Bakar - iPhone 5C)
puisi ini terdiri atas dua bait. bait pertama berisi latar suasana. penyair menggambarkan tentang pengalamannya menikmati hidangan minuman, lalu mewacanakan persoalan cinta. bisa dibilang kreator hendak mengangkat cinta lewat hal-hal yang tak terduga. suatu yang lumrah dan sering dilihat oleh tiap mata menjadi hal yang istimewa di tangan seorang penyair. Pengalaman menikmati teh dikorelasikan dengan persoalan cinta.
Secawan teh yang kau hidangkan
berbuih-buih menggoda rasa
lantas bebuih bertukar corak
membentuk sekuntum imejan cinta.
membangkitkan rasa cinta bisa datang dari hal yang remeh temeh. secawan teh bisa dijadikan media untuk menguatkan rasa cinta. berawal dari secawan teh yang
dihadirkan oleh seorang kekasih maka lahirlah sebuah upaya mengalihkan efek yang disaksikan ke arah lain yang lebih membahagiakan, upaya membentuk rasa cinta.
ada persoalan yang sangat mebarik seputar cinta seperti yang disampaikan penyair di bait terakhirnya, 

Secawan teh yang kauhidangkan
dituang dari hati yang suci.

cinta akan tercipta indah dan menentrakan jiwa karena dihadirkn dari hati yang suci. cinta abadi, cinta tanpa wasangka adalah cinta yang lahir dari hati yang suci (tulus). Ada penawaran tentang cinta, cinta yang menentramkan adalah cinta yang diawali dari perasaan yang tulus. Cinta yang tak ada unsur manipulasi. cinta yang tak menerapkan ada udang di balik batu.
MUASAL IDE
Berbicara soal ide menulis, keluhan demi keluhan kerap kali didengar dari satu penulis ke penulis lain. Ada yang memutuskan berhenti menulis lantaran terus saja bertemu dengan kebuntuan ide. ada yang berhenti menulis lantaran terventur padatnya kegiatan.
Lalu bagaimana menyiasati ide menulis agar tak menjadi momok menakutkan bagi seorang penulis? sebenarnya ide ada di sekitar kita, hanya saja kita menutup diri dan nembuat dinding penghalang sendiri.
Irwan Abu Bakar, penyair Malaysia agaknya tak terjebak dari momok menakutkan dalam menghadirkan ide menulis hal ini bisa dilihat dalam puisi yang dihadirkan kepada kita selaku pembaca. BEBUIH CINTA merupakan puisi yang diangkat dari aktivitas keseharian dalam menikmati minuman.
Irwan tampaknya menyadari untuk menulis tak harus dipusingkan untuk terus mencari ide karena sebenarnya ide banyak yang berkeliaran di sekitar kreator. secawan teh telah menjadi bagian dari ide yang coba diolah untuk membangkitkan rasa cinta.
Bebuih Cinta merupakan sebuah kreasi untuk membangkitkan rasa cinta sekaligus sebagai upaya menafikan bahwa buih yang biasanya dipandang sebagai sesuatu yang tak berharga diubah arah menjadi sesuatu yang lebih bermakna.
Bebuih Cinta bisa jadi sebagai upaya kreator berdakwah menanam bebih cinta tanpa harus menggurui. Kreator tak menjadikan dirinya sebagai penjelas dalam menerangkan cinta hanya berfungsi sebagai penunjuk.
Bisa dibilang kerja memantapkan cinta bisa dilakukan dengan menunjukkan sisi cinta yang paling mudah dikenali tanpa harus menjelaskan panjang lebar.
Madura, 14 April 2015