Rabu, 24 September 2014

PUISI-PUISI DEKNONG KEMALAWATI

 

 

 Allah, Ya Allah

D Kemalawati

Ya Allah
Langit merah di Palestina
Telah Kau lukis di Lauhuh mahfuzh
Telah Kau sebut dalam kitabMu
Bani Israil, Bani Israil
Adakah kaum selain mereka
Bertahta dalam api neraka
Kekal di dalamnya
Palestin, Palestin
Para pencari ridha
Tak melewati garis batas
Di sana darah mewangi surga
Anak-anak menuntun jalan bunda
Di sidratul muntaha
Allah, ya Allah
Kugunakan matahatiku
Memaknai langit merah
Lautan darah
Dalam Lauhuh MahfuzhMu
Allah, ya Allah

Banda Aceh, 12/7/2014

Seangkuh Apa Kau Menjulang Tak Lebih Seutas Bayang

D Kemalawati


dengan rantai ia membiakkan kemarahan
tak ada pintu atau jendela
yang meluap hanya kolam
dan bola matanya seperti diserbu pasukan asap
memerah menjadi percik bara
sesuatu yang segera menyala

suara pelatuk di ujung kampung
wajah-wajah awan hitam bergulung-gulung
pasir yang membadaikan impian
mengurai ikatan rambut yang sangsai
diantaranya kuku serupa taring  mencengkram
bahu-bahu kering terpatahkan

tiang cemara, sesuatu yang menjulang
sebagai penanda angin telah meranggas
warna abu-abu di pucuknya antara ada dan tiada
bergumamlah ia seolah laut membenamkan suara langit
terus, tumpahkan amarahmu
seangkuh apa kau menjulang tak lebih seutas bayang

Banda Aceh, 23 Nov 2011
*D Kemalawati, lahir di Meulaboh, Aceh Barat. Salah seorang pendiri lembaga kebudayaan Lapena yang bergerak dalam pendokumentasian karya sastra di Aceh. Menulis puisi, cerpen, novel,esei, opini. Puisi-puisinya terhimpun dalam banyak antologi bersama Indonesia, nusantara diantaranya dalam
Antologi De Poeticas, kumpulan puisi Indonesia, Portugal, Malaysia, (Gramedia, 2008)
Antologi puisi tunggalnya terbit dalam dua bahasa Indonesia Inggris berjudul Surat dari Negeri Tak Bertuan (Lapena, 2006). Novel perdananya berjudul Seulusoh terbit pada 2007 oleh penerbit yang sama. D Kemalawati selain bergiat di penulisan kreatif juga seorang penari dan pemain teater. Berperan sebagai Laksamana Keumalahayati dalam pementasan teater Tanah Perempuan karya Helvi Tiana Rosa bersama Bengkel Sastra UNJ akhir tahun 2009 di Gedung Kesenian Jakarta dan di Auditorium RRI Banda Aceh. Terakhir bersama penyair Diah Hadaning, Dimas Arika Mihardja menerbitkan karya puisinya dalam kumpulan puisi 3 Di Hati yang juga diterbitkan Lapena Banda Aceh (Desember, 2010). D Kemalawati penerima Anugerah Sastra dari Pemerintah Aceh 2007.

DI HARI PEMAKAMAN PAMAN


langit yang duka
bumi yang airmata: ruhku

pohon-pohon rindu tumbuh
tanah kelahiran, memanggil
duka begitu gigil
paman

meski luka, meski duka
aku harus melepas
kepergianmu, paman
sebab Allah lebih cinta
sebab Allah
lebih cinta

di tanah kelahiran kita paman
aku menunggu kehadiran
menunggu pemakaman
kau, yang diantar penuh keridhaan

Madura, 23 September 2014

RUPA MADURA DALAM PUISI PENYAIR MUDA MADURA

(Esai Apresiatif Atas Puisi Raedu Basha Berjudul Hikayat Negeri Sorga)
Oleh Moh. Ghufron Cholid*

Selasa yang penuh semilir, selepas dhuhur yang penuh zikir, ditemani secangkir kopi torabika saya bertemu dengan puisi penyair muda Madura Raedu Basha, yang merantau ke Yogjakarta, yang berjudul Hikayat Negeri Sorga di sebuah jejaring sosial bernama facebook.
Judul yang begitu memikat, bisikku pada semilir angin, lalu saya lanjutkan membaca, teruntuk siapakah puisi yang lahir tahun 2007 ini dibuat, ternyata buat pulau garam nama lain dari Madura yang menjadi tanah lahir penyair, tempat penyair membuka perkenalan dengan dunia lewat tangis yang memecah kesunyian angkasa.

Saya perhatikan tahun kelahiran penyairnya, saya temukan tahun 1988, berarti usianya saat menulis puisi berjudul Hikayat Negeri Sorga berkisar 19 tahun, usia yang masih begitu muda, namun imajinasinya sudah merantau ke mana-mana.
Ada apa dengan Madura, mengapa mendapat julukan Hikayat Negeri Sorga? Kalau merunut pada kata sorga, tentu Madura begitu berarti dan sangat istimewa bagi kehidupan penyair.

Sorga selalu diidentikkan dengan tempat yang indah dan selalu menyajikan kebahagiaan. Barangkali karena Madura adalah tempat yang paling berharga bagi perjalanan hidup penyair maka tidaklah mengherankan jika Madura ibarat sorga.

Raedu membuka bait pertamanya dengan sebuah harapan yang begitu dekat kebahagiaan, seperti tahun-tahun berlalu perjuangan menemukan hasil yang memuaskan. Kehidupan laut rupanya tak bisa dipisahkan dengan suasana Madura, barangkali karena laut telah menjadi rahim kehidupan bagi umumnya masyarakan Madura, yang begitu terkenal dengan asin garam, asin yang telah menjadi sukma dalam tiap kehidupan. Asin selalu melekat di badan, tetap dikenal keasinannya meski di tanah rantau. Keasin yang begitu memukau kalbu.

Berbangga merupakan bagian dari Madura yang dikenal dengan asinnya, dikenal dengan kultur hidupnya yang penuh tatakrama. Penuh cinta dan gotong royong adalah hal yang menyenangkan. Keasinan Madura tak hanya dikenal di Madura, Jawa, Indonesia bahkan di dunia, keasinan Madura mudah dikenali begitupun orangnya, baik dari tutur bahasanya maupun cara hidup yang selalu penuh keakraban dan tak begitu menyukai sepi di tengah ke ramaian, orang Madura tak menyukai sibuk sendiri di tengah-tengah kebersamaan, keakraban telah menjadi nafas kehidupan, andap asor telah menjadi udara bagi tiap kehidupan orang Madura.

Lalu bukankah ini berbanding terbalik dengan desas desus bahwa orang Madura sangat sangar dan suka bikin onar, terkadang apa yang didengar tentang kesangaran orang Madura, akan berbanding terbalik bila sudah datang ke Madura, begitupun yang dialami oleh penulis senior Indonesia bernama Pipiet Senja saat kami berjumpa pertama kali di Madura, tepatnya di pesantren Al-Amien Prenduan.

Terkadang kabar yang didengar harus dibarengi dengan penglihatan agar mendapatkan informasi berimbang, sebab tidak menutup kemungkinan terciptanya ketidaksukaan terbentuk karena tidak adanya pengenalan secara lebih mendalam.Kenangan, kerinduan, keakraban kadang kala tercipta saat kita tak berdekatan, atau saat kita memandang dari kejauhan, begitulah Raedu mengisahkan pergolakan batinnya pada bait puisinya yang ia namai Hikayat Negeri Sorga.

Bait ketiga Raedu mulai melukiskan tentang ingatan yang begitu menyentuh batin, perjuangan nenek moyang yang tak mau berpangku tangan dalam menggenggam kebahagiaan. Betapa Raedu begitu mengenal tanah kelahirannya, begitu akrab dengan percontohan moyangnya dalam menerjemahkan hidup, yang penuh degup, bahwa kebahagiaan harus dijemput dengan perjuangan.

Bait keempat Raedu mulai menggambarkan ketabahan petani, Raedu begitu memahami kecemasan dan keprihatinan yang dialami petani di Madura bahwa kadangkala kenyataan tak seirama harapan, namun yang membuat mata batin penyair takjub adalah ketabahan petani Madura dalam menyikapi hidup. Berjuang dan terus berjuang tanpa kenal putus asa dan tabah dalam menghadapi cobaan.
Bait kelima meneguhkan keyakinan penyair tentang langkah yang harus diambil, menafasi hidup dengan perjuangan dan kembali menceritakan betapa moyang Madura selalu punya cara untuk menghidupkan semangat mengabdi, yang barangkali bermanfaat untuk keberlangsungan pertiwi jika diteladani. Barangkali inilah gejolak batin yang sudah tak bisa dibendung penyair, yakni menyajikan cara menumbuhkan nurani dan semangat mengabdi bagi generasi penerus pertiwi.
Dalam bait keenam penyair menangkap ada keganjilan, ada yang mencoba memberi desas desus tentang laut yang tak lagi asin, tentu merupakan kekisruhan yang harus cepat ditangangi, agar isu yang tak menyenangkan hati harus hilang berganti harum melati.
Baik ketujuh adalah solusi yang ditawarkan penyair untuk terhindar dari desas desus, atau kengerian yang bakal terjadi di masa depan yakni kembali menajamkan kalimah syahadah, kembali pada hukum Allah, dengan terus menjadikan segala detak nafas ibadah, agar segala yang tak diinginkan tak menyalami hati.
Kalimahsyahadah harus terus menjadi nadi dalam hidup tiap insani. Ada pun puisi yang saya maksud berikut akan saya posting secara utuh
HIKAYAT NEGERI SORGA
: Pulau Garam

angka dalam waktu
perlahan merentakan putaran kincir
di sebidang sudut tambak
petani mendongak ke langit
menadah setitik bintang jatuh ke lubuk lautan
mengharap cahaya
gemulaikan bulir berlian mengkemilau seperti dahulu
saat seribu kapal menghantarkan hasil peluh ini ke haribaan dunia

pada hamparan lautan yang menyelat pulau-pulau impian
kurindukan kembali garam berderap jingga
dari lenguh para petani. meningkahi keasinan kota pada moksa
menjadikan dua rasa saling berkecup di relung delta
garam bergelus
tawar memupus di limutan samudera

dahulu
dari rusuk baling-baling yang pasrah pada angin
aku dapat menatap tangisharu moyangku
air matanya yang tawar dapat kucicipi bila kuasini dengan garam
hingga dari airmatanya dapat kunisbatkan:
perjuangan adalah ketabahan di ladang tanggul
tambak menggulai ketegaran
tambak membuah ketenangan

kemudian tubuh pulau merajut sendiri keindahannya
laksana jelmaan sabana
namun senyuman senja di muka petani
tetap tulus dan bersahaja mengelus hati
meski dari hari ke hari
doa dan peluh berdesakan selaik kisruh

kini sebuah hikayat indah ingin kutembangkan kembali
limpahan kekayaan margalaut yang tiada kudapati selain di pulau ini
sewaktu Pangeran Katandur mengejakan kalimahsyadahah
mengelilingi daratan Madura
: samudera menggumpal kristalan putih. garam membuih
laut mendawuh di kening dermaga
ikan-ikan berlompatan di jantung segara
sungguh rekah Tuhan menggelar sebuah negeri sorga!

namun
entah siapa telah berbual dalam syukurnya
airlaut tiada mengasin lagi
tambak hanya menanam lelah
tambak hanya memanen sepi

Pangeran!
ajari kami lagi mengeja asma kalimahsyadahah
hingga lautan kembali mengkibar bendera layar
memasang rusuk kincir kembali membalingkan gemulai angin
mengarahi sampan-sampan kembali berlayar
menghantarkan ritus peluh ini ke haribaan dunia, seperti dahulu…
sampai harum kembali garamku
searoma derap tasbih para petani

2007

Raedu Basha tak henti berharap, dalam puisi banyak hal yang bisa dilakukan Raedu yakni dengan mengenalkan segala ragam kehidupan Madura yang penuh pendidikan cinta, ketabahan orang Madura yang serupa karang, tak goyang diterjang gelombang.

Raedu seakan hendak mengabarkan bahwa pada hakikatnya orang Madura (moyangnya) adalah pejuang tangguh yang tak mudah berputus asa. Bahwa Madura yang terkenal sangar memang harus dibuntikan dengan cara mengunjungi Madura, agar dapat dirasakan suasana Madura yang penuh cinta.

Kembali pada kalimahsyadah seakan menjadi solusi untuk keluar dari segala kecemacasan, seakan Raedu mengukuhkan kembali bahwa Madura memang layak menyandang serambi madinah atas kekentalan hidupnya dengan agama.

Madura, 6 Mei 2014
*Pembina Sanggar Sastra Al-Amien (SSA) dan Pendiri Dengan Puisi Kutebar Cinta, tinggal di Madura.

MENGGAMBAR WAJAH MADURA YANG RELIGI

Oleh: Moh. Ghufron Cholid
SAJAK RINDU
: untuk Sumenep

jiwaku kian getas
menahan rindu tiada batas
pada tanah pertama ku bernafas

aku pulang bertualang
bukan untuk menggelar pesta lahang
di arena kerapan sapi nan jalang

namun
akan ku rayakan ritual sakral bersajikan muang sangkal

Puisi merupakan jalan alternatif untuk mengenalkan kebudayaan dari sebuah dari daerah yang barangkali belum terjamah (Moh. Ghufron Cholid). Malam ini saya berhadapan dengan puisi Nurul Why yang dilahirkan di Jember pada 29 Mei 2014 yang dia namai Sajak Rindu. Sajak rindu kata Nurul seakan membuka pintu waktu yang langsung menuntun mata untuk mengenali rupa demi rupa dari kenangan. Sajak rindu, kata Nurul dengan nada yang lebih meyakinkan seolah mengajak saya untuk membuka lembaran waktu, saya pun berbalik arah dan mulai mendengarkan penuturan creator.

jiwaku kian getas/menahan rindu tiada batas/pada tanah pertamaku bernafas//

Awal yang manis untuk sebuah rupa bernama rindu, dari tanah rantau bernama Jember, meski saya belum sepenuhnya mengenal creator hanya sebatas rekan FB. Jika mengamati isi bait pertama bisa dipastikan bahwa creator begitu rindu tanah kelahirannya. Saya membayangkan creator serupa garam yang tak bisa dipisahkan dari laut atau semisal cerutu yang tak bisa dipisahkan dari tembakau, aroma Madura masih lekat dalam ingatan meski berada di tanah rantau. Mengapa creator begitu merindukan tanah kelahiran bernama Madura? Karena mungkin Madura telah menjadi udara dalam bernafas. Barangkali benih-benih cinta telah mengakar dalam hatinya.
aku pulang bertualang/bukan untuk menggelar pesta lahang/di arena kerapan sapi nan jalang//

Ada ragam alasan yang membuat seseorang berkeinginan pulang ke kampung halaman, rindu yang menuntun, mengkhidmati keindahan alam atau sekedar bertandang lalu pergi lagi bertualang. Saya tertegun dan terus saja membaca kerapan sapi secara berulang menghadirkan ingatan untuk diperkenalkan sisi lain dari Madura barangkali menjadi tambahan informasi bagi yang belum mengenalnya. Saya pun mendapati diri saya di masa kecil yang begitu riang menonton kerapan sapi yang biasanya diadakan tiap bulan Agustus. Madura dan kerapan sapi serupa bunga dan tangkai saling memberi sempurna. Kerapan sapi biasanya digelar di sebuah lapangan yang luar dan ditutupi dengan tebing-tebing dari bambu, di pintu masuknya biasanya dijaga oleh penjaga karcis. Di dalam lapangan biasanya penonton akan menonton dari ranggun (sebuah ruang panjang tempat menonton kerapan sapi terbuat dari bambu). Kerapan sapi biasanya dikendali seorang Joki dengan dilengkapi cemeti dan memakai kaos bergaris merah putih yang merupakan kaos khas orang Madura, di samping itu memakai ikat kepala atau odeng.

Kepiawaian Joki sangat mempengaruhi menang tidaknya dalam perlombaan, kecelakaan yang biasa dialami para Joki yang terlena bisa salah urat bisa juga patah tulang. Filosofi dari kerapan sapi adalah untuk menjadi pemenang harus berjuang bukan menunggu keajaiban datang dari langit. Kepiawain Joki bisa diibaratkan kepiawaian dalam memimpin agar bisa selamat dalam sebuah kepemimpinan harus bisa menjiwai dan mengenal orang-orang yang ada di sekeliling.

Saya kembali membaca bait pertama dan kedua untuk menangkap point pembahasan, berisi tentang latar suasana jiwa creator tentang Madura. Namun ketika saya memasuki bait ketiga saya mulai tahu bahwa tujuan Nurul menulis sajak rindu adalah untuk mengenalkan salah satu ritual yang dianggap sakral yakni tarian muang sangkal.
namun/akan ku rayakan ritual sakral/bersajikan muang sangkal//

Muang bermakna membuang sementara sangkal bermakna petaka atau kerumitan hidup, dengan kata lain muang sangkal adalah sebuah usaha yang dilakukan untuk menghindarkan diri dari petaka hidup. Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum selama kaum tersebut tidak berusaha merubahnya, barangkali muang sangkal adalah implementasi dari firman Allah. Dengan kata lain dibutuhkan perjuangan untuk merubah nasib. Jodoh, rejeki dan kematian adalah rahasia Ilahi, oleh sebab ketiganya masih bersifat rahasia dan tak ada yang benar-benar mampu untuk menebaknya maka dibutuhkan usaha dan doa, muang sangkal adalah perpaduan dari kedua unsur tersebut yakni memadukan tarian dan doa dalam pelaksanaannya.

Barangkali Nurul tak hendak hanya sekedar menulis sajak rindu untuk dirinya, ada misi suci yang hendak diperkenalkan dalam puisinya, sebuah tradisi yang barangkali tidak diketahui banyak khalayak yakni tarian muang sangkal.Tarian yang berasal dari Sumenep Madura yang dipercaya sebagai salah satu ijtihad untuk menangkal kemungkinan hidup yang tak diinginkan.

Muang sangkal adalah tarian yang menggabungkan dua hubungan sekaligus, hubungan antara hamba dengan Tuhan yang dilaksanakan dalam bentuk doa, hubungan antara sesama manusia dalam bentuk tarian. 'Berdoalah padaKu niscaya Kukabulkan' dan 'Bersilaturrahmihlah maka akan mendapatkan panjang umur dan lancar rejeki' merupakan terjemahan dari tarian muang sangkal.

Pesantren Sebagai Basis Sastra


Oleh Moh. Ghufron Cholid
 
Pesantren sebagai lembaga pendidikan telah banyak memberikan sumbangsih pada kemerdekaan untuk sebuah bangsa bernama Indonesia.Pesantren yang dianak tirikan keberadaannya tidak membuat tenggelam dalam lembah duka. Pesantren terus saja memberikan pengabdian terbaik untuk bangsa.
Para santri sedang apresiasi sastra

Pesantren yang mendapat stigma, kolot, kampungan hanya fokus pada segala permasalahan agama, agaknya perlu diluruskan. Pesantren dengan pendidikan kerohanian semakin memperhalus budi dengan tradisi sastranya. Di pesantren degup sastra terasa sangat nyata. 
Tradisi bersastra bahkan telah menjadi kegiatan yang mengasyikkan baik digemakan dalam bentuk nadham maupun dalam bentuk diba'. Rasanya para pecinta sastra harus bersyukur dan berterima kasih karena bangsa Indonesia punya lembaga pendidikan bernama pesantren, yang sangat kental dengan tradisi sastra. 
Menjadi Civitas pesantren atau sebagai seorang pejuang di ranah pendidikan pesantren, tak harus merasa minder bila disandingkan dengan pendidik yang sudah menempuh pendidikan sampai S3 baik di dalam negeri maupun luar negeri, seharusnya mengedepankan rasa syukur. Kendati jenjang pendidikan ada yang sampai Ibtidaiyah, Tsanawiyah maupun Aliyah, sejatinya kita sudah dibekali dengan ilmu agama dan ilmu sastra.
Tampa harus menempuh jenjang pendidikan tinggi kita sudah dikenalkan kunci pembuka segala ilmu yakni nahwu dan shorrof. Kedua inti ilmu pengetahuan adalah modal dasar untuk membuka ragam ilmu yang belum terbuka. Tak hanya itu kitab blaghah juga menjadi kunci untuk memahami ragam sastra arab.
Kekerabatan pesantren dengan kitab-kitab klasik bisa jadi sebagai titik awal nilai lebih orang-orang yang menempuh pendidikan lewat jalur pesantren dari pada pendidikan umum. 
Menggeluti pemikiran para ulama terdahulu membuat kita sebagai orang pesantren memiliki nilai plus, hanya dengan menempuh pendidikan di tanah kelahiran, di negeri sendiri bisa bertemu dengan ragam pemikiran ulama terdahulu, ikhya' ulumuddin dengan imam al-ghazali, ibu shina dengan kitab pengobatannya, syiir abu nawas, syiir imam syafie dan lain sebagainya. 
Paling tidak orang-orang pesantren harus bersyukur memiliki Gus Dur yang menjadi penanda pesantren lebih dikenal dunia luas dan membubuhkan nama pesantren dalam biodata menjadi suatu hal yang membanggakan, dengan kata lain lulusan pesantren bisa disejajarkan dengan orang-orang yang dengan bangganya memperkenalkan diri di biodata sebagai lulusan kampus ternama.

Menepikan Stigma Buruk Pesantren Sebagai Sarang Teroris

Tak bisa dipungkiri pesantren telah digiring pada suatu pemahaman sebagai basis lahirnya kaum radikal yang dalam bahasa populer sarang teroris. Penggiringan publik pada stigma buruk ini sangat menciderai hati para pendidik atau orang-orang yang pernah menempuh jalur pendidikan pesantren. 
Hal ini harus disikapi dengan lebih dewasa dan bijak dengan adanya stigma tersebut paling tidak keberadaan pesantren mulai diperhitungkan. Adanya pesantren mulai mendapat perhatian, hal semacam ini harus dimanfaatkan dengan baik. 
Pihak asing atau orang-orang luar pesantren mulai ada keinginan untuk lebih mendalam tentang apa itu pesantren, jika bisa dimanfaatkan dengan maksimal akan menjadi penanda baik untuk menghapus stigma buruk tersebut. Agaknya tak kenal maka tak sayang bisa menjadi hipotesa akan lahirnya era baru, di mana kegiatan-kegiatan pesantren mulai dilirik. 
Saya pun bisa bernostalgia dengan ingatan demi ingatan hidup di pesantren utamanya pesantren Al-Amien Prenduan, di mana membuat persiapan mengajar sudah menjadi tradisi baik dari generasi ke generasi yang kemudian mulai diadopsi oleh bangsa Indonesia dalam dunia pendidikan yang dimiliki. Silabus, RPP sudah menjadi akrab di kalangan dunia pendidikan atau kalangan para pendidik.
Tradisi bersastra yang berjalan secara alamiah membuat para santri maupun guru di pesantren Al-Amien Prenduan tampil menjadi juara baik ditingkat regional maupun nasional, dan saya pribadi merasakan buah pendidikan bersastra di pesantren, sampai akhirnya pada bulan Oktober 2013 berkesempatan mengikuti Kongres Penyair Sedunia ke-33, sahabat saya, Ach. Nurcholis Majid pernah menjuarai lomba esai tingkat guru SMA/MA seIndonesia, itu pun didapat saat Nurcholis mengabdikan diri sebagai guru di pesantren. 
Memposisikan pesantren sebagai basis pendidikan dan basis sastra di tengah gempuran anggapan pesantren sebagai sarang teroris bisa menjadi langkah yang sangat tepat. Memulihkan kepercayaan publik dengan mengenalkan tradisi yang sangat khas merupakan langkah jitu untuk menepis segala anggapan buruk. 
Shalat jama'ah, dzikir bersama, mengaji al-qur'an bersama, bershalawat dan tahlil bersama merupakan implimentasi dari sastra yang sesungguhnya. 
Pesantren adalah lembaga pendidikan yang tak hanya fokus pada ilmu-ilmu keagamaan, pesantren bukanlah sarang teroris melainkan basis pendidikan sastra. Pesantren terjemahan dari sastra itu sendiri, Allah itu indah dan mencintai keindahan. 
  Madura, 2014

Jumat, 19 September 2014

KAKEK, RINDU INI MASIH BERDEGUP



Alm. KH. Muchtar Sanusi*

Kakek, rindu ini masih berdegup
Ketika kusaksikan, angin merebahkanmu
Nisan, mengantar ingatanku pada teduh
Istirah

Mimpimu tumbuh di mata
Di hati
Di tiap langkahku
Aku, dikepung rindu

Ingatanku, ingatanku dan ingatanku
Memburu bayangmu, bayangmu dan bayangmu
Aku disergap takjub
Kematianmu, begitu teduh

Junglorong, 19 September 2014
*Ulama Junglorong Sampang yang wafat tahun 1999

Biodata Penulis
Moh. Ghufron Cholid, Pengasuh Pesantren Penyair Nusantara di FB

PUISI, INSPIRASI DAN KUFUR NIKMAT YANG SAMAR

Oleh Moh. Ghufron Cholid

Hukum dasar Inspirasi
Surat al-alaq ayat 1-5 dan surat al-qalam ayat 1-2 atau tanda-tanda kekuasaan Allah yang terdapat dalam pergantian siang dan malam. Atau firman Allah dalam penciptaan langit dan bumi beserta isinya dalam enam masa. Atau surat Al-Ashr ayat 1-5.

Saya teringat ketika membaca puisi spontan di Al-Izzah Islamic Boarding School Batu Jawa Timur. Ketika itu yang jadi pemateri kepenulisan Pipiet Senja dan Abrar Rifai sementara saya di bidang puisi saja.

Mengumpul segenap yang kita lihat dan diungkap lagi dalam bentuk pengucapan, itulah yang saya lakukan.

Lantas ada yang bertanya tentang inspirasi, karena merasa kesulitan dalam menulis. Sejenak saya tertegun, mengumpulkan segala ingatan yang barangkali ada yang terlupakan. Saya mulai menatap satu persatu wajah yang begitu riang belajar. Begitu semangat mendapatkan ilmu yang mungkin baru bagi mereka. Mungkin pula ilmu itu telah mereka dapatkan hanya untuk dicocokkan.

Berhadapan dengan peserta workshop yang kesemuanya perempuan jika tidak memiliki mental dan konsentrasi maka apa yang akan kita sampaikan akan menjadi tak beraturan.

Tak ada yang tidak mungkin selama kita berpikir bisa maka Allah akan melapangkan segala.

Sejatinya inspirasi sangat dekat dengan kita dan kitalah yang membuat jarak serta mencipta alasan-alasan untuk tegak di jalur aman.

Ketika kita melihat daun yang jatuh sejatinya kita telah menemukan inspirasi, tinggal kita kaitkan dengan apa saja sesuai keinginan kita.

Mungkin peristiwa daun jatuh adalah peristiwa yang biasa bagi khalayak umum. Namun bagi penulis bisa menjadi suatu hal luar biasa untuk diperkenalkan ke dalam tulisan baik berupa cerpen, puisi maupun novel.

Lalu bagaimana dengan penyair menyikapi daun jatuh maka diperkenalkan dengan sangat puitik, ianya dikaitkan dengan kematian. Ianya bisa dikaitkan dengan musnahnya suatu generasi dan penyambung generasi yang baru.

Daun yang jatuh selain dijadikan guru dalam mengasah kepekaan batin, menjadi media untuk menyadarkan diri bahwa segala yang kita miliki sejatinya hanya titipan yang lambat laun akan hilang dari genggaman.

Warna daun bisa menjadi lambang perubahan usia, serat-serat yang ada dalam daun bisa dikaitkan dengan indahnya persatuan, indahnya keakraban.

Menceritakan daun yang kita saksikan saja telah membuka jalan dari sebuah kemisterian yang ada di dalam yang tampak untuk mengurai yang tak tampak.

Berkenalan dengan daun saja, betapa banyak pelajaran hidup yang bisa didapat dan diceritakan.

Mencipta jarak dengan inspirasi hanya menjadi jalan untuk semakin lumpuhnya gairah menulis.

Berikut akan saya hadirkan ragam inspirasi yang terkandung dalam daun, dalam bentuk puisi dalam ragam tema.

daun-daun usia berguguran
mengecup kening kematian

atau bisa juga tema persahabatan

dedaun pengertian bersalaman
menepikan keraguan

atau tema yang lain

hijau daunmu
hijau pula hatiku

sebuah penggambaran akan adanya generasi baru, semangat baru dalam menerjemahkan kehidupan.

Atau bertema penyesalan

ketika daun usiamu menguning
kau pun terasing

sebuah potret tentang keterkenalan hidup manusia akan memudar beriring perubahan waktu. Kebanggaan pada ketampanan atau kecantikan pada akhirnya membuat terasing bahkan bagi dirinya sendiri.

Atau tema perjuangan

daun-daun pengabdian
telah memalingkan mata ragu
dari tubuh zaman
berlarian kegelisahan
bertamu kebahagiaan.

Hanya dengan menyaksikan daun ragam inspirasi bisa dihadirkan terlebih menatap alam semesta. Terlebih mengurai karuniaNya tentulah takkan pernah mampu.

Penyebab Hilangnya Inspirasi

Menganggap menulis sebagai beban hanya membuat batin tersiksa dan menjadi awal penyebab hilangnya inspirasi.

Adalah watak dasar manusia pandai mencari alasan demi alasan untuk mencari pembenaran atas segala yang tak ingin dilakukan.

Rutinitas harian menjadi alasan terkuat untuk tidak menulis, untuk mencari pembenaran kalau inspirasi sangat sulit didapat. Padahal dalam pekerjaan yang super sibuk sejatinya inspirasi itu tetap ada. Tetap akrab menyapa kita.

Pekerjaan juga menjadi sumber alasan terkuat atas seseorang membuat jarak dengan inspirasi. Padahal jika kita menikmati kita bisa menjadikan bahan untuk menulis.

Sejatinya inspirasi itu bergantung cara kita menyikapi kehadirannya. Mau dijadikan kawan atau lawan.

Meniadakan inspirasi merupakan bentuk kekufuran nikmat yang sangat samar, sebab ianya menjadikan diri kita tidak peka.

Sebagai solusi kufur nikmat atau mengingkari adanya inspirasi di sekitar kita, ada baiknya saya kutip nasehat Alm. KH. Moh. Idris Jauhari yang saya kira sangat relevan dengan pembahasan ini.

Cara bersyukur seorang penulis yakni dengan menulis.

Semoga tulisan ini ada manfaatnya, demikian yang bisa saya uraikan, tulisan ini jauh dari kesempurnaan sebab kesempurnaan hanya milik Allah.

Kamar Cinta, 19 September 2014

PUISI DAN PERJALANAN SPRITUAL DALAM MEMAKNAI KEMATIAN




Oleh Moh. Ghufron Cholid*

Kematian adalah bentuk cinta yang lain dari sebuah kemesraan kencan atau pertemuan yang penuh cekam, ketika kehidupan tak lagi dalam genggaman. Moh. Ghufron Cholid

PENDAHULUAN

Jum’at yang penuh cinta dan berkah saya berhadapan dengan dua puisi yang ditulis oleh Janus A. Satya dengan puisinya TENTANG KEPULANGAN dan puisi yang ditulis oleh Nona Reni dengan judul KEPULANGAN BUNDA, baik JAS maupun Nona Reni sama-sama mengungkap perihal kematian.

Berikut saya posting utuh kedua puisi agar kehadirannya bisa kita nikmati dan bisa kita resapi isyarat yang dikandung oleh kedua puisi dari dua penyair yang sama-sama dibesarkan di group kepenulisan bernama puisi dua koma tujuh.

TENTANG KEPULANGAN

Kusaksikan arakan jenazah
Langit kembara berawan berzah

Janus A. Satya, 2014

KEPULANGANMU BUNDA

Air talkin menghujani bumi
Pucat menggigil duka

Nona Reni, 2014

Kematian adalah tamu yang pasti datang. Kehadirannya tak bisa saling tawar menawar, ianya datang tepat waktu. Ianya adalah ketentuan Allah yang berlaku bagi sekalian makhluk-makhlukNya. Sejatinya JAS maupun Nona Reni seakan ingin mengabadikan moment puitik yang dialami ataupun yang disaksikan untuk mengintimi diri agar lebih mengenal posisi diri. Mengenal kalau tiap pribadi pasti menghadapi kematian.

JAS mulai membuka pandangannya, kusaksikan arakan jenazah, adalah suatu peristiwa yang lumrah dalam setiap kematian pasti ada arakan jenazah, untuk memulai pandangannya JAS menyajikan hal yang sangat umum, yang biasa dilihat dalam sebuah prosesi kematian.

Jika JAS mengawali pandangan prosesi kepulangan adalah jenazah yang diarak ke pemakaman maka Nona Reni membuka pandangannya dengan kegiatan yang berlaku di pemakaman, setelah jenazah diadzani dan dikubur maka dibacakanlah talkin.

Pembacaan talkin adakah manfaatnya jika ianya dibacakan kepada jenazah? Bukankah jenazah sudah dikuburkan, lalu untuk apa pembacaan talkin? Mungkin inilah yang menjadikan NU dan Muhammadiyah berselisih pandangan tentang perlu tidaknya talkin dibacakan.

Apapun perbedaan di Antara umat nabi adalah rahmat, sepakat atau tidak sepakat dengan adanya talkin akan terus menjadi kontroversi, namun yang perlu kita telisik adalah asas manfaat saja yang dikandung dalam talkin.

Meski saya lahir dan dibesarkan dalam lingkungan NU, saya tak menyalahkan Muhammadiyah jika tidak menyenangi adanya pembacaan talkin bagi jenazah, namun yang perlu saya utarakan adalah isi yang ada dalam talkin, oleh ianya banyak mengandung pelajaran. Jika keberadaan pembacaan talkin tak diyakini ada manfaat bagi jenazah, saya tak akan menggugat sebab tiap kepala pastilah memiliki pandangan tersendiri, selama pembacaan talkin lebih mendekatkan diri bagi yang mendengarkan saya rasa tak ada salahnya dibacakan.

Dalam talkin terkandung ajaran kebaikan dan tambahan ilmu bagi yang mendengarkan. Talkin membahas apa yang harus dilakukan seorang hamba yang memiliki Tuhan di dalam kubur. Talkin juga bisa menguatkan imam pendengarnya sejatinya di dalamnya terdapat penajaman mata jiwa. Tentang adanya dua malaikat yang senantiasa menjadi penanya dalam kubur tentang segala lingkup yang mencakup anugerah yang telah diterima manusia dari Tuhannya.

Menhayati pembacaan talkin akan membuat tiap hati bergetar, langit kesombongan semakin runduk, tidak ada alasan untuk menepuk dada atas segala keberhasilan yang dicapai manusia sebab sejatinya adalah pemberian Allah.

Kembali pada pembahasan larik kedua dari puisi yang ditulis oleh JAS, Langit kembara berawan berzah. JAS seakan tak mau melepas pelajaran ruhani yang diterimanya lewat puisi TENTANG KEPULANGAN yang ditulisnya, meski hanya mengabarkan tentang keadaan manusia sebelum tiba di pemakaman namun JAS lebih menekankan sejatinya langit yang disaksikan penyair kala itu merupakan lukisan alam berzah. Langit kembara berawan berzah. Jadi langit yang cerah. Langit yang mengajarkan kebahagiaan telah beralih fungsi menjadi langit yang menitipkan ketakutan. Langit yang mengingatkan diri tentang akan adanya kiamat kecil yang lambat laun akan menyapa tiap manusia yakni kematian.

JAS menemukan langit yang lain, langit yang tak selalunya menggambarkan keramahan, kebahagiaan namun langit yang disaksikan JAS dalam gejolak batin menyaksikan jenazah adalah langit yang merundukkan kesombongan. Langit yang mengingatkan tentang adanya ketidak kekalan. Langit yang terus saja membatikkan keinsafan. JAS mengulang perjalanan spritualnya dengan berucap langit kembara berawan barzah.

Awan seperti apakah yang dimaksud penyair yang tertera dalam pengucapan berawan barzah? Adakah awan tersebut? Di sinilah JAS mengulah pergolakan batin, mengenalkan kematian dengan Bahasa puitik dengan menegaskan pengalamannya yang memuncak pada keinsafan, langit kembara berawan barzah. Awan yang hanya ditemukan dikehidupan di alam yang lain, bukan alam yang kita tempati ketika hidup. Alam kandungan, alam kehidupan, alam barzah dan alam kebangkitan adalah empat alam yang akan dilewati tiap manusia, keturunan nabi adam dan siti hawa. Oleh JAS tak sampai membahas puisi TENTANG KEPULANGAN  di sekitar pemakaman maka berawan barzah ialah diksi yang ingin disampaikan untuk membahas alam barzah. Alam kematain, di mana segala anugerah yang dihadiahkan Allah dipertanyakan oleh dua malaikat Munkar dan Nakir.

Lain JAS, lain pula dengan Nona Reni, di larik kedua dalam puisinya, Nona Reni semakin mempertegas pandangannya. Tentang pergolakan batin yang terjadi di sekitar pemakaman yakni Pucat menggigil duka. Ada yang begitu dahsyat yang terjadi pada seorang anak di hari kematian ibunya. Anak yang pernah diasuh dengan kasihsayang, betapa sangat kehingan. Betapa pucat telah menggigilkan duka.

Bisa saja yang hendak disampaikan penyair adalah pergolakan batin yang dirasakan oleh tiap anak atas kematian ibunya. Bisa pula perenungan yang lahir dari pembacaan talkin, yang membuat diri yang mendengarnya menjadi pucat menggigil duka. Duka akan kehilangan orang yang berharga atau ketakutan yang begitu dahsyat yang dibayangkan oleh tiap diri dalam membayangkan kematiaan. Lantaran mengenang segala amal yang telah diperbuat.

Tiap diri seakan terus didekap ketakutan tentang keadaan yang akan berlaku jika kematiaan itu tiba. Adakah yang akan menangisi kepergian atau malah kepergiaannya adalah peristiwa yang sangat dinanti oleh manusia lain di sekitarnya.

KESIMPULAN
Kematian adalah kado yang akan diberikan Allah pada tiap hamba-hambaNya. Ada yang menyambutnya dengan sukacita, ada pula yang meresponnya dengan segala ketakutan yang membabi buta. Bagi yang benar-benar mencintai Allah tiada keraguan dalam menyambut kematian, bahkan kematian menjadi suatu hal yang ingin dijemput dengan kegembiraan.

Kematian membela agama dan bangsa adalah kematian yang sangat mulia. Kematian yang akan selalu dikenang. Bagi pejuang. Pergi ke medan perang hanya ada dua pilihan, pulang membawa kemenangan atau mati dengan mendapat gelar syuhada.

Maka ketika terjadi pergolakan di Gaza, jiwa-jiwa yang benar-benar mencintai Allah takkan pernah gentar berjuang sebab kematian adalah kado yang paling dicari ketika kemenangan tak lagi bisa didapat. Ketika kemerdekaan dalam mengagungkan AsmaNya tak lagi diperoleh. Bagi yang mati sebagai syuhada bagi mereka adalah surga, tempat kembali yang nyata. Kematian mereka adalah nama yang akan terus bergema dan menjadi cerita yang harum dari masa ke masa.

Paling tidak ada tiga bekal yang takkan pernah terputus meski manusia telah mendapat gelar almarhum atau almarhumah yakni shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang saleh/salehah yang senantiasa mendoakan kedua orang tuanya.

Kehadiran puisi TENTANG KEPULANGAN karya JAS dan KEPULANGANMU BUNDA karya Nona Reni paling tidak sebagai gambaran tentang keadaan batin ketika menyaksikan arakan jenazah, atau ketika jenazah dibacakan talqin. Kedua penyair sama-sama menggambarkan tentang kematian yang intinya ingin mengungkap bahwa manusia itu adalah makhluk yang pasti mengalami kematian. Kematian orang lain sejatinya adalah pelajaran pada tiap diri bahwa lambat laun kematian akan hadir dan menemui kita tanpa tawar menawar sesuai jadwal yang telah ditentukan Allah.

Baik JAS maupun Nona Reni di larik pertama yang disampaikan, sama-sama menyampaikan hal yang umum dan terkesan datar, gejolak batik hanya muncul di larik kedua. Larik kedua JAS hanya berisi gambaran bahwa di hari kematian langit yang cerah dan indah akan bermakna langit yang tak henti menitipkan gundah. Langit yang lebih akrab melukiskan alam kematian. Begitu pula yang terjadi di larik kedua Nona Reni, keadaan tiap diri adalah pucat menggigil duka. Duka karena kehilangan orang tercinta atau duka lain yang belum mampu dibayangkan, apakah kematian yang akan diterima lebih baik dari kematian yang disaksikan.

Madura, 19 September 2014
*Pengasuh Pesantren Penyair Nusantara di FB.