Senin, 15 September 2014

PENYAIR DAN PUISI YANG MENJADI SAKSI

Oleh: Muh. Ghufron Cholid
Dari puisi ke puisi, kau bermula dan kembali, barangkali untaian inilah yang tepat untuk menggambarkan sesosok Diani Noor Cahya, di belantara sastra barangkali namanya tak populer namun pengabdiaannya pada dunia sastra, tak bisa saya ragukan, utamanya perannya dalam menyemarakkan khazanah puisi di group bernama DuKoTu (Dua Koma Tujuh) yang diperkenalkan oleh Imron Tohari (Indonesia). Marilah kita baca karya Diani menjelang kematiannya.

YANG BERTEDUH DI KEINDAHAN REMBULAN, MENYELAMI JIWA-JIWANYA SEPANJANG PERJALANAN PUISI
: 2 baris 7 kata untukmu

kutenun aksara dengan sirnarNya
berpendarlah, puisi untukmu

---------------------------
Rahim_Imaji, 170714

Semacam ada isyarat magis yang ingin disampaikan penyair kepada kita selaku pembaca. Tanda kematian begitu kuat diperkenalkan dalam puisi Diani.

Kutenun aksara dengan sinarNya, demikian Diani membuka larik pertama puisinya. Ada kesaksian dengan keyakinan yang begitu utuh, bahwa ada yang harus dilakukan penyair (manusia) di segenap usaha yang dilakukan yakni segalanya tak pernah lepas dari karunia Tuhan.
Ketika mendapat keberhasilan, Tuhan hendak menguji seberapa pandai seorang hamba bersyukur. Ketika yang didapat hanya kegagalan, Tuhan hendak menguji seberapa mampu bersabar dan bangkit dari keterpurukan.
Diani begitu menyadari dirinya sebagai seorang hamba yang bertuhan, yang melibatkan peran Tuhan di segenap helaan nafasnya.

Kutenun aksara dengan sinarNya, seakan ingin mempertegas bahwa tiada daya dan upaya yang dimiliki melainkan tercipta karena karuniaNya.
Pandangan Diani mengingatkan saya pada surat yang pertama kali diterima oleh nabi Muhammad yakni surat al-alaq ayat 1-5.
Bacalah dengan nama Tuhanmu, firman Allah. Kutenun aksara dengan sinarNya, kata Diani. Diani telah membawa masuk firman Allah ke dalam tubuh puisi Diani. Firman Allah ia jadikan ruh dalam puisi Diani.
Kutenun, ada kesaksiaan yang diungkap Diani tentang adanya usaha yang menjadi kegiatan yang tak pernah lepas bagi manusia. Kutenun aksara, Diani semakin mempertegas bahwa yang ia lakukan adalah kerja yang baik.
Aksara adalah awal mula dari kerja kreatif sebelum disulap menjadi suku kata, kata, kalimat bahkan paragraf. Kutenun aksara dengan asmaNya, ada upanya mencipta ruang spritual bahwa kegiatan yang baik haruslah dikaitkan dengan Tuhan.

Aksara yang ditenun Diani, penyair akui dilakukan dengan sinarNya (hidayah Tuhan). Tuhan menjadi sangat vital dalam kerja kreatif seorang Diani.
Saya tertegun, angin membisikkan firman Allah, "Dan tidaklah Kuciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepadaKu." jadi hakekat adanya jin dan manusia adalah beribadah kepada Allah, larik pertama Diani, kutenun aksara dengan asmaNya merupakan tafsiran Diani akan firman Allah yang telah diyakini penyair.
"KepadaMu kami beribadah dan kepadaMu kami memohon pertolongan." sinarNya yang tertera di lari pertama dalam puisi Diani bisa jadi terjemahan atau tafsiran penyair Diani akan intisari yang terkandung dalam surat alfatihah.

Betapa Diani telah mengerahkan segala kepekaan yang dimiliki untuk menggali diri akan pemahaman penyair pada agama yang dianut. Kematian yang begitu disadari akan hadir tanpa proses tawar menawar membuat penyair Diani seakan memahami gejala kematian begitu dekat menghampiri dirinya.
Berpendarlah, puisi untukmu, saya kira larik kedua ini lebih kental membicarakan hubungan sesama manusia, sesama pecinta puisi.

Membaca puisi di larik kedua yang ditulis Diani mengingatkan saya pada sosok penyair Hamid Jabbar. Sosok penyair legendaris yang semasa hidup begitu mencintai puisi namun kematiannya lebih puitis dibandingkan hidupnya.

Manusia adalah cerita bagi generasi berikutnya maka jadilah cerita yang baik bagi generasi yang ditinggalkan, demikian puisi bahasa arab yang terjemahan bebasnya saya dapatkan di pesantren.
Oleh semasa hidup yang begitu singkat saya mengenal Diani melakukan kerja yang baik dalam menyemarakkan sastra khususnya puisi di group DuKoTu, maka Diani dikenal lewat puisinya dan kematian penyair menjadi cerita yang baik. Banyak puisi lahir didekasikan buat penyair.

Akhirnya sebagai penutup saya kutip ucapan hikmah yang disampaikan Kiai Faizi semasa sowan bulan puasa yakni idealisme tidak pernah menipu, ia akan membalasnya dengan caranya sendiri.
Selamat jalan Diani, selamat jalan pejuang, hanya catatan singkat ini yang bisa saya berikan.

Madura, 7 Agustus 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar