Oleh Moh. Ghufron Cholid
Pesantren sebagai lembaga pendidikan telah banyak memberikan sumbangsih
pada kemerdekaan untuk sebuah bangsa bernama Indonesia.Pesantren yang
dianak tirikan keberadaannya tidak membuat tenggelam dalam lembah duka.
Pesantren terus saja memberikan pengabdian terbaik untuk bangsa.
Para santri sedang apresiasi sastra |
Pesantren yang mendapat stigma, kolot, kampungan hanya fokus pada segala permasalahan agama, agaknya perlu diluruskan. Pesantren dengan pendidikan kerohanian semakin memperhalus budi dengan tradisi sastranya. Di pesantren degup sastra terasa sangat nyata.
Tradisi bersastra bahkan telah menjadi kegiatan yang mengasyikkan baik
digemakan dalam bentuk nadham maupun dalam bentuk diba'. Rasanya para
pecinta sastra harus bersyukur dan berterima kasih karena bangsa
Indonesia punya lembaga pendidikan bernama pesantren, yang sangat kental
dengan tradisi sastra.
Menjadi Civitas pesantren atau sebagai seorang pejuang di ranah
pendidikan pesantren, tak harus merasa minder bila disandingkan dengan
pendidik yang sudah menempuh pendidikan sampai S3 baik di dalam negeri
maupun luar negeri, seharusnya mengedepankan rasa syukur. Kendati
jenjang pendidikan ada yang sampai Ibtidaiyah, Tsanawiyah maupun Aliyah,
sejatinya kita sudah dibekali dengan ilmu agama dan ilmu sastra.
Tampa harus menempuh jenjang pendidikan tinggi kita sudah dikenalkan
kunci pembuka segala ilmu yakni nahwu dan shorrof. Kedua inti ilmu
pengetahuan adalah modal dasar untuk membuka ragam ilmu yang belum
terbuka. Tak hanya itu kitab blaghah juga menjadi kunci untuk memahami
ragam sastra arab.
Kekerabatan pesantren dengan kitab-kitab klasik bisa jadi sebagai titik
awal nilai lebih orang-orang yang menempuh pendidikan lewat jalur
pesantren dari pada pendidikan umum.
Menggeluti pemikiran para ulama terdahulu membuat kita sebagai orang
pesantren memiliki nilai plus, hanya dengan menempuh pendidikan di tanah
kelahiran, di negeri sendiri bisa bertemu dengan ragam pemikiran ulama
terdahulu, ikhya' ulumuddin dengan imam al-ghazali, ibu shina dengan
kitab pengobatannya, syiir abu nawas, syiir imam syafie dan lain
sebagainya.
Paling tidak orang-orang pesantren harus bersyukur memiliki Gus Dur yang
menjadi penanda pesantren lebih dikenal dunia luas dan membubuhkan nama
pesantren dalam biodata menjadi suatu hal yang membanggakan, dengan
kata lain lulusan pesantren bisa disejajarkan dengan orang-orang yang
dengan bangganya memperkenalkan diri di biodata sebagai lulusan kampus
ternama.
Menepikan Stigma Buruk Pesantren Sebagai Sarang Teroris
Tak bisa dipungkiri pesantren telah digiring pada suatu pemahaman
sebagai basis lahirnya kaum radikal yang dalam bahasa populer sarang
teroris. Penggiringan publik pada stigma buruk ini sangat menciderai
hati para pendidik atau orang-orang yang pernah menempuh jalur
pendidikan pesantren.
Hal ini harus disikapi dengan lebih dewasa dan bijak dengan adanya
stigma tersebut paling tidak keberadaan pesantren mulai diperhitungkan.
Adanya pesantren mulai mendapat perhatian, hal semacam ini harus
dimanfaatkan dengan baik.
Pihak asing atau orang-orang luar pesantren mulai ada keinginan untuk
lebih mendalam tentang apa itu pesantren, jika bisa dimanfaatkan dengan
maksimal akan menjadi penanda baik untuk menghapus stigma buruk
tersebut. Agaknya tak kenal maka tak sayang bisa menjadi hipotesa akan
lahirnya era baru, di mana kegiatan-kegiatan pesantren mulai dilirik.
Saya pun bisa bernostalgia dengan ingatan demi ingatan hidup di
pesantren utamanya pesantren Al-Amien Prenduan, di mana membuat
persiapan mengajar sudah menjadi tradisi baik dari generasi ke generasi
yang kemudian mulai diadopsi oleh bangsa Indonesia dalam dunia
pendidikan yang dimiliki. Silabus, RPP sudah menjadi akrab di kalangan
dunia pendidikan atau kalangan para pendidik.
Tradisi bersastra yang berjalan secara alamiah membuat para santri
maupun guru di pesantren Al-Amien Prenduan tampil menjadi juara baik
ditingkat regional maupun nasional, dan saya pribadi merasakan buah
pendidikan bersastra di pesantren, sampai akhirnya pada bulan Oktober
2013 berkesempatan mengikuti Kongres Penyair Sedunia ke-33, sahabat
saya, Ach. Nurcholis Majid pernah menjuarai lomba esai tingkat guru
SMA/MA seIndonesia, itu pun didapat saat Nurcholis mengabdikan diri
sebagai guru di pesantren.
Memposisikan pesantren sebagai basis pendidikan dan basis sastra di
tengah gempuran anggapan pesantren sebagai sarang teroris bisa menjadi
langkah yang sangat tepat. Memulihkan kepercayaan publik dengan
mengenalkan tradisi yang sangat khas merupakan langkah jitu untuk
menepis segala anggapan buruk.
Shalat jama'ah, dzikir bersama, mengaji al-qur'an bersama, bershalawat
dan tahlil bersama merupakan implimentasi dari sastra yang
sesungguhnya.
Pesantren adalah lembaga pendidikan yang tak hanya fokus pada ilmu-ilmu
keagamaan, pesantren bukanlah sarang teroris melainkan basis pendidikan
sastra. Pesantren terjemahan dari sastra itu sendiri, Allah itu indah
dan mencintai keindahan.
Madura, 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar