Biodata Penyair
Nia
Samsihono menempuh pendidikan dasar di SD Kristen I Sragen, namun waktu kelas 3 SD pindah ke
SD I Karanganyar, Kabupaten
Purbalingga karena
ayahnya, Samsihono, berdinas sebagai Camat. Lalu pindah ke kota Kalimanah,
Kabupaten Purbalingga dan melanjutkan di SMPN I Kalimanah. Di kota Purbalingga itu
dia melanjutkan sampai sekolah menengah atas di SMAN I Purbalingga, Jawa Tengah.
Karya tulisnya dihasilkan dari pengalaman budaya yang dia alami dari daerah ke
daerah. Kebetulan ibunya berasal dari suku Dayak Maanyan di Barito Timur, Kalimantan Tengah. Sedang ayahnya berasal dari Sragen, Jawa Tengah. Hal itu menyebabkan kemampuan berbahasa
daerahnya beragam. Nia menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Sastra dan
Budaya, Universitas
Diponegoro Semarang. Ketika mahasiswa, dia aktif
mengikuti kegiatan ekstrakurikuler yang berhubungan dengan seni,
antara lain tergabung dalam Teater Emper Kampus di Fakultas Sastra, Teater
Kelas Universitas
Diponegoro, dan
anggota grup paduan suara Universitas Diponegoro. Di kampus itu pula dia
mengawali debutnya sebagai penyair ketika memublikasikan karyanya di Harian
Suara
Merdeka berjudul Tak
Ada Keramaian. Setelah tamat dari S-1, dia bekerja sebagai reporter di Koran
Prioritas, kemudian pindah ke Penerbit Mutiara Sumber Widya, dan akhirnya
dia memilih berkarier sebagai pegawai
negeri sipil (PNS) di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Nia menyelesaikan pendidikan
pascasarjana di Fakultas Ilmu Budaya di Universitas
Indonesia Jakarta.
PUISI-PUISI NIA SAMSIHONO
Karya-karyanya
masuk dalam sejumlah buku, di antaranya Merenung Pembangunan (Universitas Kristen Satya Wacana, 2009), Indonesia Memahami Khalil Gibran (Editor Eka Budianta, Badan Pelestari Pustaka Indonesia,
2011), Sejumlah Kritik (Bambang Sadono, Citra Almamater, 2012), Profil Perempuan Pengarang dan Penulis Indonesia
(Kurniawan
Junaedhie, Kosa Kata
Kita, Jakarta 2012), Jula-Juli Jakarta (Antologi Puisi Esai,
2013), Antologi Perempuan Langit 1, Perempuan Langit 2 (2014). Kemampuannya di kancah kesusastraan menjadikan
dirinya sering diundang di berbagai seminar dan diskusi antara lain di Singapura, Kuala Lumpur, Malaysia, Bangkok, Filipina, dan Bandar
Seri Begawan, Brunei Darussalam. Di bidang organisasi, saat ini Nia
Samsihono aktif mengelola Komunitas Cinta Sastra, Jakarta sebagai salah satu ketua, menjadi
Pengelola Lingua Ginurit Jurnal Ilmu Pengetahuan Bahasa dan Sastra, sebagai
Ketua Dewan Editor.
PUISI-PUISI NIA SAMSIHONO
BENTANG
MALAM
Oleh Nia Samsihono
Desau angin menerbangkan anganku kepadamu
Dan kelam bagai detik jam yang melaju
Berlomba dengan tonggeret di pucuk kelapa menyuarakan simfoni indah tentang siang yang melayang terkejar petang bagai kenangan
Sedang apakah engkau kekasihku, sudah lelap tidurkah?
Malam di titik kulminasi*
Mimpikanlah aku yang selalu menyiksamu dengan cinta hingga ciptakan duka yang meronce hari-harimu tanpa henti
Suara daun bersentuhan
Menggubah nyanyi menjadi dendang
Itu senandungku kekasih, itu laguku
mengalun dalam kalbu tersesaki rindu
Dengarlah cintaku
Kelelawar melintas perlahan
Kepak sayapnya berdesir lirih mengiris hati
Serangga tiba-tiba membisu
Sunyi menelan seluruh nada
Lalu aku tenggelam dalam lautan lelap
Lalu aku mengambang di atas awan
Jakarta, 31 Oktober 2011 (Sumber Buku Puisi Musim Semi karya Nia Samsihono)
*kata indah Wisanggeni
Dan kelam bagai detik jam yang melaju
Berlomba dengan tonggeret di pucuk kelapa menyuarakan simfoni indah tentang siang yang melayang terkejar petang bagai kenangan
Sedang apakah engkau kekasihku, sudah lelap tidurkah?
Malam di titik kulminasi*
Mimpikanlah aku yang selalu menyiksamu dengan cinta hingga ciptakan duka yang meronce hari-harimu tanpa henti
Suara daun bersentuhan
Menggubah nyanyi menjadi dendang
Itu senandungku kekasih, itu laguku
mengalun dalam kalbu tersesaki rindu
Dengarlah cintaku
Kelelawar melintas perlahan
Kepak sayapnya berdesir lirih mengiris hati
Serangga tiba-tiba membisu
Sunyi menelan seluruh nada
Lalu aku tenggelam dalam lautan lelap
Lalu aku mengambang di atas awan
Jakarta, 31 Oktober 2011 (Sumber Buku Puisi Musim Semi karya Nia Samsihono)
*kata indah Wisanggeni
KANGEN
malam hujan begini
hanya suara air
yang menciptakan tembang berdenting di genting
Biasanya kita berbincang tentang daun yang melayang
jatuh di pekarangan
dan waktu pun sirna di antara kita
Malam hujan begini aku suka sekali menyelusup di
pelukan lenganmu,
sambil menghitung degup jantungmu satu per satu
dan mendengarkan dengkurmu
yang bercerita tentang lelahmu dalam hidup
Malam hujan kali ini hanya tersisa dingin
yang menari di ruangan membekukan kenangan
pada kisah beranta kita bertahun lamanya
di luar, katak mulai berdendang
memanggil hujan untuk menderas lagi
menyemarakkan kangenku padamu
Nia Samsihono
Jakarta, 16 Februari 2011
(Sumber Buku Puisi Musim Semi karya Nia Samsihono)
LAGU
CINTA
Oleh Nia Samsihono
Kucoba berkata
Tentang bunga yang menjulur di telaga
Tampilkan warna langit berona
Biru bagai hati tercelup tirta
Sunyi yang membentur dinding kalbu
Suaranya talun-bertalun
Merontokkan butiran pilu
Luruh dalam genggamanmu
Lalu kau anggit pelangi untukku
Membuat tersipu haru
Lagu itu pun bergema
Mengisi relung hati
Sementara angin mengiringi nyanyi
Memuja puspa hanyut ke hilir
Dan perahumu mengusik senja
Meraup sepi guguran daun
Kau rangkai jadi mahkota
ada cinta menebar cahaya
Kucoba mengerti dan meyakini
Bunga tambatan hati
Nia Samsihono
26 November 2012
(Sumber Buku Puisi Musim Semi karya Nia Samsihono)
BILAL
Oleh Nia Samsihono
Suara itu bertalu-talu
Terngiang-ngiang di telinga
Mengejar diri agar tak sembunyi
Merunduk sesaat dalam diam
Suara itu selalu kurindu
Mengingatkan langkah sejenak jeda
dari ambisi yang tak dapat henti
menguasai kehidupan demi kehidupan
Suara itu, Tuhan, suara itu
ingatkan diri pada Ilahi
Muazin pembawa azan dalam hidupku
menyadarkan sekitar akan kuasa-Mu
Nia Samsihono
Jakarta, April 2013
(Sumber Buku Puisi Musim Semi karya Nia Samsihono)
HARUS KULEWATI
Oleh
Nia Samsihono
Malam
berjalan dalam diam
ada
kunang-kunang bersayap terang
pancarkan
kemilau sinar
pada
persada
pada
bantaran tanah darah
ketika
angin ratri berdesir lirih,
menggerakkan
dedaunan berbisik
saling
berbincang nama milik siapa
kenangan
melintas mengguris angan
ketika
reranting mencipta suara
kepak
kelelawar mengisi udara
gelap
menimpali kelam
menatapi
cinta mengembara
napas
manusia terbelenggu siksa
hanya
Tuhan, Sang Pencipta
memberi
pedih pada hati
Aku
ikhlas menjalani
kulewati
hidup yang ini
Jakarta,
2014
(Sumber Buku Puisi Musim Semi karya Nia Samsihono)
SEPERTI APA?
Buat:
Pak Eko Budihardjo
Oleh
Nia Samsihono
Hidup
seperti mentari merambat perlahan dari timur ke barat
memecah
fajar bagai tangisan bayi keluar dari kenikmatan rahim bunda
Cahaya
itu dinanti
Menjalar
jengkal demi jengkal
Menyinari
persada
Memberikan
denyut pengharapan
Untuk
tumbuh dan berkembang
Hidup
bagai sungai yang mengalirkan air
Dari
hulu ke hilir
Membawa
cerita di setiap jejak, setiap bencah yang dilalui
Air
tetaplah air juga tubuh manusia tetaplah tubuh manusia
Menjadi
alat sutradara kehidupan
Hidup
laksana angin
Yang
mengisi tempat satu ke tempat lain
Membawa
partikel udara
Yang
diperlukan jiwa untuk nyawa
Hidup
menjadi sarana
Manusia
menempatkan suka atau derita sesuai kehendak-Nya
Mentari,
air, angin kelengkapan akhir
Manusia
di dunia adalah ketentuan-Nya
Kehendak,
angan-angan, duka, gembira
Tak
dapat diingkarinya
Hidup
serbaneka kicau burung di halaman
Hidup
bak gemericik air menyentuh bebatuan sungai
Hidup
itu asap yang meliputi hutan terbakar
Hidup
pintu kematian
7
April 2014
(Sumber Buku Puisi Musim Semi
karya Nia Samsihono)
AKU BERSUJUD DI MASJID
HUNTO*
Oleh
Nia Samsihono
Suara
muazin bertalu-talu
Di
Siendeng bersumur beratus tahun
Airnya
menyejukkan hati
Dinginnya
menyegarkan rasa
Doa
itu bergema dalam dadaku
Menyusuri
nadi-nadi aorta ke seluruh tubuh
Pada-Mu
aku pasrah dalam sujudku
ingin
segera dosa terurai
Menapaki
hari-hari bisu
Doa
itu menjalar dari waktu ke waktu
Bagi
manusia yang selalu berkata dusta
Bagi
umat yang mempermainkan kehidupan
Di
ujung ada siksa yang membaca
Ada
kesejarahan yang terpaku
Pada
dinding masjid itu
Sultan
Amai mendirikan cinta
Putri
Raja Palasa menerima mahar
Lalu
puja membahana
Cerita
tentang umat manusia
Dalam
setiap doa
Dalam
setiap tarikan asa
Pada
Sang Khalik
Beratus
tahun melekat pada batu-batu
Lalu
mengimbas aura pada sesama
Umat
yang dikasihi Tuhan
Tunduk
bersujud dalam haribaan-Nya
Gorontalo,
2014 (Sumber Buku Puisi Musim Semi
karya Nia Samsihono)
*Masjid
Hunto adalah salah satu masjid tertua di Gorontalo (300 tahun)
Masjid ini dibangun pada tahun 1495 oleh Sultan Amai,
pemimpin Kerajaan Gorontalo yang pertama kali masuk Islam dan diberi nama
Masjid Hunto Sultan Amai. Hunto singkatan dari Ilohuntungo berarti basis atau
pusat perkumpulan
agama Islam kala itu. Lokasi Masjid Hunto Sultan Amai berada di Kelurahan Biawu, Kecamatan Kota Selatan, Kota Gorontalo
agama Islam kala itu. Lokasi Masjid Hunto Sultan Amai berada di Kelurahan Biawu, Kecamatan Kota Selatan, Kota Gorontalo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar