Nawaitu
kupilih jalan ini
karena rumahmu di ujung sana
bila aku tersesat
para malaikat akan menghamp
ar sayap
langkahku yang berat akan terangkat
oleh hembus angin dari arah kiblat
kuradang semak berduri
kulitku penuh luka
darah mengucur harum bunga
tapa batu-batu hitam
membuatku lupa jalan pulang
meski tak kutahu kapan hari kudusku tiba
kuletakkan kakiku di tanah berlubang
lalu kusaksikan langit begitu jauh dari tangan
kubaringkan tubuh di bawah pohon rindang
betapa hijau daunan, setelah lama tak kupandang
Yogyakarta, 2014
Hijrah
matahari bangkit dari kesunyian makam leluhur
menjangkau barat dengan lengannya yang panjang
seribu tangan terentang di atas padang
pohon-pohon kurma menyanyikan lagu kemenangan
kami tanggalkan baju zirah warisan
tinggal pedang di tangan mengerling tajam
kota gemuruh, bedug ditabuh
langit biru memantulkan wajah kami yang lain
kendi-kendi penuh anggur kami tenggak dalam syukur
di bawah terpaan cahaya timur
kami bangun satu masjid dalam dada
berhala kami hancurkan
dupa kami padamkan
kutuk dan kultus biarlah meradang
kami punya pedang setajam iman
Yogyakarta, 2014
Garam Air Mata
angin berkabar pada cuaca
lewat suara keriap kincir
petani memanggil hujan dari dalam matanya
hatinya moksa ke padang sabana
menjumpai seribu bekas luka
yang pernah digoreskan pisau kemarau
gubuk bambu dinding bambu
tiangnya goyah oleh usia
atapnya bocor ditembus sinar langit
jejak-jejak tak teratur di lantainya
menandai waktu, ketika penambak tak ada
“mungkin ia telah lelah,” terdengar sebuah gema.
tapi kenapa ricik air berlagu
sedang hulu nasib tambak tak ketemu
muara hanya ada dalam kisah bisu tentang sorga
membangkitkan harap di ujung senyap
tanggul-tanggul bagai pagar gudang kosong
tetap diam meski terdengar jeritan
di air tenang, wajah-wajah ngambang
disesatkan arus kecil ke ceruk dalam
sedang matahari yang jauh
tak pernah menghiraukan
Yogyakarta, 2014
Pantai Nana
setelah jauh berlayar
baru kutemukan laut tenang
runcing karang menunjuk langit hujan
mendung mempercepat kesedihan
saat ikan-ikan lepas dari tangkapan
kulihat dermaga lengang
sebuah sampan tua tertambat
namun tak kutemukan seseorang
hanya deretan tembok-tembok murung
menunggu lekang digerus waktu
ingin kulempar jangkar
dan mencecap asin airmu
menghirup aroma pasir putih
di mana ingin kukubur segala perih
di lengkung cerukmu yang dalam
akan kubangun istana ikan
tempat wahyu dan ilham
mengutusku jadi Sulaiman
Yogyakarta, 2014
*sumber: Koran Indopos, 24 Januari 2015
kupilih jalan ini
karena rumahmu di ujung sana
bila aku tersesat
para malaikat akan menghamp
ar sayap
langkahku yang berat akan terangkat
oleh hembus angin dari arah kiblat
kuradang semak berduri
kulitku penuh luka
darah mengucur harum bunga
tapa batu-batu hitam
membuatku lupa jalan pulang
meski tak kutahu kapan hari kudusku tiba
kuletakkan kakiku di tanah berlubang
lalu kusaksikan langit begitu jauh dari tangan
kubaringkan tubuh di bawah pohon rindang
betapa hijau daunan, setelah lama tak kupandang
Yogyakarta, 2014
Hijrah
matahari bangkit dari kesunyian makam leluhur
menjangkau barat dengan lengannya yang panjang
seribu tangan terentang di atas padang
pohon-pohon kurma menyanyikan lagu kemenangan
kami tanggalkan baju zirah warisan
tinggal pedang di tangan mengerling tajam
kota gemuruh, bedug ditabuh
langit biru memantulkan wajah kami yang lain
kendi-kendi penuh anggur kami tenggak dalam syukur
di bawah terpaan cahaya timur
kami bangun satu masjid dalam dada
berhala kami hancurkan
dupa kami padamkan
kutuk dan kultus biarlah meradang
kami punya pedang setajam iman
Yogyakarta, 2014
Garam Air Mata
angin berkabar pada cuaca
lewat suara keriap kincir
petani memanggil hujan dari dalam matanya
hatinya moksa ke padang sabana
menjumpai seribu bekas luka
yang pernah digoreskan pisau kemarau
gubuk bambu dinding bambu
tiangnya goyah oleh usia
atapnya bocor ditembus sinar langit
jejak-jejak tak teratur di lantainya
menandai waktu, ketika penambak tak ada
“mungkin ia telah lelah,” terdengar sebuah gema.
tapi kenapa ricik air berlagu
sedang hulu nasib tambak tak ketemu
muara hanya ada dalam kisah bisu tentang sorga
membangkitkan harap di ujung senyap
tanggul-tanggul bagai pagar gudang kosong
tetap diam meski terdengar jeritan
di air tenang, wajah-wajah ngambang
disesatkan arus kecil ke ceruk dalam
sedang matahari yang jauh
tak pernah menghiraukan
Yogyakarta, 2014
Pantai Nana
setelah jauh berlayar
baru kutemukan laut tenang
runcing karang menunjuk langit hujan
mendung mempercepat kesedihan
saat ikan-ikan lepas dari tangkapan
kulihat dermaga lengang
sebuah sampan tua tertambat
namun tak kutemukan seseorang
hanya deretan tembok-tembok murung
menunggu lekang digerus waktu
ingin kulempar jangkar
dan mencecap asin airmu
menghirup aroma pasir putih
di mana ingin kukubur segala perih
di lengkung cerukmu yang dalam
akan kubangun istana ikan
tempat wahyu dan ilham
mengutusku jadi Sulaiman
Yogyakarta, 2014
*sumber: Koran Indopos, 24 Januari 2015
Riwayat Perjalanan
Kamil Dayasawa,
dilahirkan di ujung timur pulau Madura pada, 05 Juni 1991. Memiliki
ketertarikan dalam tulis menulis (khususnya sastra), sejak masih duduk
di bangku MTs. Miftahul Ulum Batang-batang Sumenep. Akan tetapi, tidak
lama berselang, ia memiliki kegemaran lain di bangku sekolah tingkat
pertamanya (Fisika dan Matematika), lalu kemudian pada akhir 2008 ia
kembali ke jalan asalnya (menulis sastra).
Proses
kreatifnya yang paling signifikan, dilakukannya sejak duduk di bangku
MA. TMI PONDOK PESANTREN AL-AMIEN PRENDUAN Sumenep. Tepatnya ketika itu
dimulai sejak masih kelas III Intensif (kelas I SMA/MA). Dengan berbekal
keberanian, ia masuk sebuah sanggar yang menjadi kiblat kesusastraan di
pondoknya “Sanggar Sastra Al-Amien (SSA)”, yang ketika itu diketuai
oleh Imam Rofi’ie (penulis banyak buku, tinggal di Yogya). Sedangkan
para pembinanya, Moh. Hamzah Arsa, Ach. Shodiqil Hafil, M. Hasan Sanjuri, Ach. Nurcholis Majid, Moh. Ghufron Cholid. Mereka adalah pendahulu sekaligus pembimbing dari kamil.
Ketika masih
nyantri, bersama Ruslan St dan Enha Ahyar, ia mengasuh sebuah buletin
santri yang terbit setiap minggu: SEMBAHYANG. Sebuah media bagi santri
yang ingin mempublikasikan karya-karyanya. Meskipun buletin ini hanya
dalam lingkup lokal pesantren, tapi lumayan diapresiasi oleh banyak
kalangan. Karena di samping kesibukan kegiatan yang padat, ia bersama
redaktur yang lain tetap eksis menerbitkan buletin ini hingga (2010),
karena ia sudah selesai masa studi. Di samping menjadi redaktur buletin SEMBAHYANG, ia juga menjadi redaktur Majalah Qalam/Suplemen Khazanah (2009-2010) dan yang tidak kalah pentingnya, ia juga sebagai pengurus Bagian Perpustakaan dan Penerbitan (BAPUSBIT, 2009-2010).
Sampai saat
ini, sejak proses kreatifnya dimulai (2008), ia telah menghasilkan
banyak tulisan. Beberapa dipublikasikan di media cetak atau online: Majalah
Qalam, Buletin Sembahyang, Horison/Kakilangit, Radar Madura, Koran
Minggu Pagi, penyairnusantara.blogspot.com, penulismuda.com,
blog.gagasmedia.net. Selain itu tulisannya juga terkumpul dalam antologi bersama: ESTAFET (Ukhuwah Publisher, 2010), Akar Jejak (SSA, 2010) dan Memburu Matahari (Bisnis 2030, 2011).
Ia juga beberapakali mendapat kesempatan memenangkan berbagai sayembara. Antara lain: Juara II Lomba Menulis Puisi Kandungan Al-Quran (PORSENI Al-Amien, 2009), Juara I Lomba Menulis Puisi Inspiratif (FLP-UM, 2010), Juara Harapan III Lomba Menulis Puisi Remaja Pekan Bulan Bahasa (Pusat Bahasa, 2010) dan Juara I Sayembara Penulisan Naskah Buku Pengayaan (Kategori Puisi SLTP) yang diselenggarakan oleh Pusat Kurikulum dan Perbukuan Nasional, Depdikbud, 2011.
Saat ini, ia
sedang merantau ke Jogjakarta untuk belajar seni dan budaya dan, dalam
rangka melanjutkan studinya ke perguruan tinggi (k)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar